OKEDAILY, JAKARTA – Seminar yang diselenggarkan oleh Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI), Jakarta Timur, pada Senin, 5 Desember 2022, membahas banyak hal tentang sistem dan mekanisme tindak pidana skema piramida yang marak terjadi 5 tahun terakhir.
Kegiatan yang bertajuk “Ketidakpastian Hukum Skema Piramida Berdampak dalam Penerapannya” itu dihadiri oleh beberapa narasumber seperti, Analis Perdagangan Ahli Muda Direktorat Bina Usaha Kemendag RI, Devini Parawita.
Kemudian pada seminar nasional itu, selain menghadirkan Ahli Hukum Pidana, Prof. Dr. Mompang L Panggabean, S.H., M.H., juga hadir Ketua Asosiasi Perusahaan Penjualan Langsung Indonesia (AP2LI), Adrew Alister Susanto dan Dekan Fakultas Hukum UKI, Dr. Hendri Jayadi, S.H., M.H.
Dalam acara ini, Prof. Mompang mengatakan bahwa skema piramida dapat dilakukan oleh siapapun, termasuk perorangan maupun korporasi berbadan hukum.
“Korbannya pun tidak pandang bulu, dari masyakarat biasa hingga penegak hukum dapat menjadi korban tindak pidana skema piramida,” jelasnya.
Dari pernyataan tersebut, muncul pertanyaan dari salah seorang peserta seminar yang menyinggung umpama korban dari skema piramida itu, adalah seorang polisi yang merupakan aparat penegak hukum.
“Bagaimana jika korban dari skema piramida ini adalah ternyata seorang anggota polisi,” tanya seorang peserta di seminar tersebut kepada narasumber.
Adapun pertanyaan yang dimaksud ialah terkait adanya korban skema piramida yang merupakan anggota kepolisian itu, tidak menutup kemungkinan ia akan membuat laporan agar kasus yang dialaminya dapat diproses oleh kepolisian.
“Namun disisi lain polisi tersebut juga menjalankan fungsinya sebagai penyidik pada kasus yang ia laporkan,” tukasnya mengumpamakan.
Secara lugas, Prof. Mompang menjawab pertanyaan itu, bahwa polisi yang menjadi korban skema piramida tidak dapat menjalankan fungsi penyidikan atau menjadi penyidik pada kasus yang menimpa dirinya.
Lebih lanjut Prof. Mompang memaparkan, jika hal tersebut terjadi maka dikhawatirkan akan menimbulkan konflik kepentingan atau Conflict of Interest, sehingga berakibat tidak objektif.
Demi upaya penegakan hukum yang mengedepankan prinsip proses hukum yang semestinya (due process of law), ia menegaskan, polisi korban dari skema piramida itu tidak boleh menjadi penyidik.
“Korban (polisi) yang menjadi penyidik harus mengundurkan diri sebagai upaya penegakan hukum yang mengedepankan prinsip-prinsip due process of law,” ungkapnya.
Menurutnya, apabila hal demikian tetap dipaksakan, tentu akan menguntungkan dirinya karena objektivitas secara sudut penegakan hukum pidana tidak menutup kemungkinan menjadi kabur atau sulit terwujud.
“Jika hal tersebut tetap terjadi tentunya akan menguntungkan dirinya sendiri dan bukan lagi melihat secara objektif dari sudut penegakan hukum pidana,” tandas Prof. Mompang.
Sementara itu, Dr. Hendri Jayadi selaku Dekan Fakultas Hukum UKI sekaligus Ahli Hukum Bisnis, juga menyampaikan hal serupa menanggapi atas pertanyaan audien tersebut
Dalam etika penyidikan, kata Dr. Hendri, seyogyanya seorang polisi yang merupakan korban pada suatu kasus tidak dapat berperan menjadi penyidik atas kasus tersebut.
“Kalau korbannya polisi, terus polisi tersebut bisa menjadi penyidik atau tidak, kalau dalam etika penyidikan tidak boleh. Jadi misal hakim ketika memeriksa perkara ternyata ada hubungan darah, dia harus mundur,” ujarnya.
Kendati demikian, dalam upaya terjadinya kesetaraan atau kesamaan di depan hukum (equality before the law) yang menjujung asas dimana setiap orang harus tunduk pada proses hukum, sudah semestinya hal itu juga berlaku bagi penyidik.
“Penyidik pun sama, kan penyidik banyak, bukan cuma dia doang, dalam artian bisa penyidik lain supaya terjadi yang namanya equality before the law,” pungkas Dr. Hendri Jayadi.