INTERNASIONAL – Sejumlah reaksi masyarakat di internet, khususnya Indonesia, mempertanyakan pemberitaan media Barat tentang perang Rusia vs Ukraina yang sangat gencar, berbeda dengan konflik Israel dan Palestina.
Contohnya, ketika terjadi penyerangan oleh pasukan keamanan Israel terhadap jemaah Palestina di Masjid Al-Aqsa saat merayakan Isra Mi’raj, Senin (28/2/2022).
Perhatian media-media Barat tampak terfokus pada konflik Rusia vs Ukraina, sehingga kurang menyoroti apa yang terjadi di Al-Aqsa, Palestina.
Saat itu, 14 warga Palestina terluka termasuk seorang anak, dan empat orang dibawa ke rumah sakit akibat tindakan keras pasukan Israel.
Video yang dibagikan oleh warga Palestina di media sosial menunjukkan pasukan Israel melemparkan gas air mata dan granat kejut ke kerumunan jemaah walau terdapat banyak anak dan bayi, lalu memicu kepanikan.
Pada hari yang sama, invasi Rusia ke Ukraina memasuki hari keempat dengan ibu kota Kyiv yang dikepung dan ratusan ribu pengungsi melarikan diri dari zona konflik.
“Perang di Ukraina jadi sorotan dunia dan perbuatan Rusia disebut kejahatan terhadap kemanusiaan, sedangkan kejahatan Israel terhadap kemanusiaan sudah berlangsung bertahun-tahun enggak ada yang ributin,” tulis Siti Mirahjani Sukrisno di kolom komentar Facebook Kompas.com tentang berita serangan di Al-Aqsa.
“Media Barat sukses mengelabui dunia. Yang benar jadi salah dan sebaliknya,” komentar Dyah Pitaloka.
“Muak lihat mereka tutup mata pada Israel dan berbicara lantang tentang kesengsaraan pada Ukraina,” menurut Desi Susanti.
Apakah media Barat Beda “perlakuan”?
Ketua Pusat Studi Media, Literasi, dan Kebudayaan (Puska Melek) Abdul Wahid mengatakan, ada kebiasan dalam liputan media Barat antara perang Ukraina dan perang-perang sebelumnya di Timur Tengah.
“Kecenderungan ini sudah lama dilakukan, tidak hanya sekarang, tapi juga dari Perang Dingin, Kosovo, Irak, hingga Suriah, (dan) tentu Palestina,” terangnya kepada Kompas.com, Kamis (3/3/2022).
Lebih lanjut, pengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Brawijaya Malang tersebut menerangkan, saat melihat perang di Ukraina beberapa media Barat mengambil sudut pandang kemanusiaan, tetapi saat meliput di Timur Tengah korban diposisikan sebagai teroris, radikal, dan mengancam demokrasi.
Misalnya, penyebutan warga Ukraina sebagai hero (pahlawan) yang mempertahankan tanah kelahiran saat membuat bom Molotov, tetapi anak kecil yang melemparkan batu pada tank bisa dijadikan alasan membuldoser perumahan di Tepi Barat.
“Hal ini menunjukkan posisi media Barat yang hipokrit, sekaligus menunjukkan pandangan ganda dalam melihat krisis kemanusiaan,” ujar Wahid.
Ia juga mencontohkan, politik bahasa yang binari seperti penyebutan “The people… have blue eyes and blonde hair… look like us”, serta “This isn’t a place, with all due respect, like Iraq or Afghanistan“ di sejumlah media Barat, menurutnya upaya menormalkan bahwa perang di Ukraina tidak dibenarkan karena media Barat menganggap mereka adalah orang Eropa.
“Sedangkan di Timur Tengah tidak apa-apa karena bukan mereka,” ujar Wahid.
Senada dengan Abdul Wahid, Dr Riza Noer Arfani selaku Direktur Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta berpendapat, memang ada bagian yang disebut bias media Barat.
“Kalau memberitakan terutama soal Israel-Palestina itu ada bias-bias tertentu yang mereka lakukan selama ini, dan menafikan usaha-usaha yang dilakukan pihak-pihak tertentu, terutama yang mengusahakan upaya perdamaian,” terang Riza saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (5/3/2022).
“Yang dilakukan di Palestina selayaknya mendapat pembuktian, tetapi ini tidak. Biasnya tampak sekali dalam kasus Ukraina ini,” sambungnya.
Perang tidak hanya di medan perang
Kemudian, menurut Aun Rahman dosen Politik Luar Negeri UNISA Bandung dan Produser Box2Box Media Network, perang tidak hanya terjadi di medan perang tetapi juga di arus informasi.
“Arus informasi ini jadi penting karena ada pendapat publik yang berpengaruh terhadap jalannya perang juga. Akhirnya kan dengan banyaknya media Barat yang memberitakan situasi di Rusia dan Ukraina, ada sudut pandang tertentu terkait situasi yang terjadi,” urai Aun dalam sambungan telepon dengan Kompas.com, Kamis (3/3/2022).
“Arus informasi apa yang muncul dan di-headline, apa yang muncul di tajuk utama media, itu akan berpengaruh terhadap sudut pandang pemikiran publik secara global. Maksudnya enggak cuma perorangan, tapi juga umum secara global.”
“Misalnya ada situasi di Al-Aqsa kah, ada situasi misalnya di Albania pun kalau enggak salah juga, jadinya agak tertutup karena memang arus informasinya sejauh ini secara global dipegang sama dunia Barat.”
“Agenda setting-nya memang adalah untuk menunjukkan ini konflik penting, maksudnya bukan ‘konflik Eropa doang’ tapi juga akan berpengaruh ke dunia. Itu yang kita dapat,” imbuh Aun.
Kepentingan di balik perang Rusia vs Ukraina
Hingga Sabtu (5/3/2022) hari kesembilan invasi Rusia ke Ukraina, berita-berita media Barat dari zona konflik tersebut masih mengalir deras, dan sebagian masyarakat menilai situasi ini tidak terjadi di konflik Timur Tengah.
Dalam pandangan Riza, di setiap upaya pembentukan opini publik tidak hanya media yang mempunyai kepentingan tetapi juga pihak-pihak lain.
“Sehingga ketika ada peristiwa mengenai Rusia-Ukraina ini terlibat perang, memang pihak-pihak tertentu punya kepentingan untuk mendorongnya sebagai yang utama di pemberitaan atau pembentukan opini publik.”
“Itu dimanfaatkan oleh pihak-pihak ini untuk semacam ‘menutupi’ atau ‘menggeser’ isu Palestina itu, yang tidak kalah gentingnya juga.”
Kemudian menurut Aun, kepentingan tersebut tergantung ke setiap media karena mereka memiliki value (nilai) masing-masing.
“Kepentingan media digunakan dalam isu ini itu besar, karena pada akhirnya perang enggak cuma soal siapa yang berperang di medan perang, tapi juga perang dalam pemberitaan dan juga arus informasi.”
“Bagaimana Ukraina secara heroik menghadapi Rusia. Itu kan ide utamanya gitu, yang sering kita lihat di banyak media. Bahkan itu levelnya enggak cuma media besar, tapi juga di media sosial.”
“Mau tidak mau, mereka kan juga istilahnya ada satu front dengan dunia Barat,” kata Aun.
Atau, menurut Wahid, diskursus di media Barat menunjukkan pada kita bahwa standar kemanusiaan bernada ganda.
“Boleh perang di negara dunia ketiga, asal tidak di Eropa,” pungkasnya.