OKEDAILY.COM – Dewan Pendidikan, merupakan wadah untuk menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan program pendidikan, guna dapat meningkatkan peran serta aktif dari seluruh lapisan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
Selain itu, diharapkan lahirnya Dewan Pendidikan khususnya di Kota Keris ini, mampu menciptakan suasana atau kondisi transparan, akuntabel, demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang berkemajuan.
Namun berbeda dengan rekrutmen Dewan Pendidikan Kabupaten Sumenep Periode 2021-2026 atau yang familiar disebut DPKS, karena sedari awal menuai kritik asin seasin kacang rebus. Sebab disinyalir cacat hukum keberadaannya.
Kebijakan Ugal-ugalan?
Seringkali kita jumpai ketidakkonsistensian Pemerintah Kota Keris dalam kepastian hukum. Maka, diperlukan sinergitas serta kesadaran lebih dengan menghilangkan ego sektoral terkait tugas dan tanggung jawab selaku penyelenggara Pemerintahan.
Hal ini bisa kita temui dalam amanah Pasal 169 ayat (7) Peraturan Daerah Kabupaten Sumenep Nomor 7 Tahun 2013 sebagai tindak lanjut Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010, yang mana hingga kini belum juga ada peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Bupati Sumenep tentang DPKS.
Kenyataannya, aturan pelaksanaan yang pada dasarnya merupakan suatu kumpulan pedoman untuk menjadi dasar menjalankan lebih lanjut isi Peraturan yang lebih tinggi diatasnya, tidak pernah ada atau tidak dibuat oleh Bupati Sumenep.
Sehingga keberadaan DPKS Periode 2021-2026 yang baru terbentuk dan dikukuhkan pada, Senin 6 Desember 2021 lalu, oleh Achmad Fauzi, S.H., M.H. selaku Bupati Sumenep, Jawa Timur, terus diterpa mendung yang tak kunjung hujan.
Pada saat itu, Senin (17/10) siang, publik Kota Keris sontak dikejutkan dengan adanya wacana Komisi IV DPRD Kabupaten Sumenep yang akan mengeluarkan surat rekomendasi pembubaran rekrutmen DPKS yang belum seumur jagung waktu itu.
Hal tersebut diungkapkan oleh Sekretaris Komisi IV DPRD Sumenep, Abu Hasan, S.H., saat gelar audiensi dengan Lembaga Bantuan Hukum Forum Rakyat Pembela Keadilan dan Orang-Orang Tertindas (LBH FORpKOT) Sumenep dan juga perwakilan dari Bupati Sumenep.
Ketika itu di ruang kerja Komisi IV, Abu Hasan. S.H., sepakat terhadap usulan LBH FORpKOT agar DPKS segera dilakukan seleksi ulang sebagai langkah yang paling tepat dilakukan, atas dasar apa yang pihaknya lihat dan dengar dari dua sisi.
“Ketika sebuah Lembaga yang sudah dianggap kadaluarsa dan tidak dipayungi hukum yang jelas, alangkah baiknya untuk dibubarkan saja. Jadi saya pribadi dan insyaallah ini akan menjadi keputusan Komisi IV, kita akan mengeluarkan surat rekomendasi kepada Pemerintah Kabupaten Sumenep untuk membubarkan (seleksi ulang, red) DPKS,” ujarnya.
Rekomendasi Pembatalan Rekrutmen DPKS
Demi memenuhi desakan publik, Abu Hasan, menyarankan rekrutmen DPKS Periode 2021-2026 harus dibatalkan demi hukum. Karena Pemerintah Kabupaten Sumenep dinilai tidak melakukan sisi ketertiban hukum.
Ia juga mengatakan, bahwa hal ini adalah bagian dari salah satu pintu masuk untuk membantu Bupati Sumenep dalam kepentingan membangun. Khususnya masalah pendidikan yang menjadi beban bersama-sama.
Abu Hasan berharap, dengan adanya rekomendasi yang telah dikeluarkan Komisi IV ini, bisa dijadikan sebagai upaya Pemerintah Kabupaten Sumenep untuk menertibkan produk-produk hukum yang menyimpang dari regulasi yang ada.
“Ternyata setelah diinternalkan, semua temen-temen (Komisi IV, red) faham dan kita pelajari secara bersama-sama, kalau memang disini ada pelanggaran regulasi,” kata Wakil Rakyat dari Kepulauan Sumenep itu, Jumat (21/1/22).
Sebetulnya, kata Abu Hasan yang mewakili Dapil 6 pada Pileg 2019 silam, amanat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010 sudah cukup jelas, menginginkan atau dibentuknya Dewan Pendidikan di masing-masing tingkatan, dan kita tidak mungkin melawan semua itu.
Sesuai dengan regulasi yang ada, berdirinya DPKS ini didasari atas terbitnya PP 17/2010 dan ditindaklanjuti Perda 7/2013. Maka terkait dengan fokus rekomendasi ini, pihaknya dengan tegas menghendaki agar rekrutmen yang cacat secara hukum dibatalkan.
“Surat rekomnya sudah selesai dan sudah ada di meja pimpinan DPRD (Abdul Hamid Ali Munir, S.H., red), selajutnya pimpinan yang akan menyerahkan ke Bupati Sumenep,” tutup politisi Fraksi Kebangkitan Bangsa di Komisi IV DPRD Sumenep itu.
Kabag Hukum Setdakab Sumenep Teledor
Pemerintah mengeluarkan atau menerbitkan PP 17/2010 ini, tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan dalam rangka melaksanakan beberapa pasal di UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Sedangkan Peraturan Daerah Kabupaten Sumenep Nomor 7 Tahun 2013, merupakan produk politik yang dipikirkan secara detail oleh anggota DPRD Sumenep pada masanya. Kita yakini semua itu pasti membutuhkan pemikiran yang jeli dan cerdas.
“Dalam kaca mata hukum atas persoalan ini butuh berfikir sehat. Bagaimana sebuah lembaga itu terbentuk tanpa aturan main yang jelas? Ya aturan mainnya di Peraturan Bupati itu, yang harus dilaksanakan oleh DPKS dan dijadikan acuan. Maka terkait dengan fokus rekomendasi ini, kami menghendaki agar rekrutmen yang cacat secara hukum dibatalkan,” tegas Abu Hasan, Jum’at (21/1/22).
Semestinya ini dihentikan terlebih dahulu, ucap Abu Hasan, dipastikan ada aturan main yang mengikat secara hukum. Ia juga melihat keteledoran yang dilakukan Kabag Hukum Setdakab Sumenep dalam konteks pembentukan atau rekrutmen DPKS, janganlah dianggap enteng adanya Perbup.
“Saya rasa kalau Kabag Hukum ini mau peka terhadap permasalahan, sudah tahu rekrutmen DPKS itu tidak ada Perbupnya tapi masih dilanjut, ini sebuah kelalaian,” kesalnya.
Padahal, tambah Abu Hasan, Perbup itu merupakan kata kuncinya. Namun seakan-akan menurut Kabag Hukum Setdakab Sumenep, cukup dengan Surat Keputusan (SK). Semestinya setiap dikeluarkan SK Bupati itu ada dasarnya.
Ketua DPRD Sumenep Ciut Hadapi Eksekutif?
Diketahui sebelumnya, pada Rabu 19 Januari 2022, komisi IV DPRD Kabupaten Sumenep telah melakukan Rapat Kerja bersama dengan Panitia Seleksi, Sekretaris Dinas Pendidikan, dan juga Bagian Hukum Setdakab Sumenep terkait DPKS itu.
Berdasarkan Surat Komisi IV DPRD Kabupaten Sumenep Nomor : 02/KOM-IV/1/2022 Perihal Laporan Hasil Rapat Kerja, yang disampaikan kepada Ketua DPRD Kabupaten Sumenep untuk ditindaklanjuti dengan diterbitkan surat rekomendasi secara kelembagaan.
“Komisi IV DPRD Kabupaten Sumenep meminta kepada Dinas Pendidikan segera melakukan proses dan tahapan seleksi ulang kembali terhadap pembentukan keanggotaan Dewan Pendidikan Kabupaten Sumenep sesuai dengan mekanisme dan aturan peraturan perundang-undangan,” Bunyi Laporan itu.
Namun bagai langit dan bumi, sebagaimana yang tertuang dalam Surat Rekomendasi Nomor : 188/Rek.01/435.050/2022. Ketua DPRD Kabupaten Sumenep, Abdul Hamid Ali Munir, S.H. ditengarai tidak mengindahkan Laporan Hasil Rapat Kerja Komisi IV itu.
Adapun isi Surat Rekomendasi Ketua DPRD Kabupaten Sumenep merekomendasikan kepada Bupati Sumenep adalah sebagai berikut :
- Dinas Pendidikan agar melakukan klarifikasi lanjutan terhadap hasil rapat kerja Komisi IV DPRD Kabupaten Sumenep dengan mengikutsertakan beberapa stakeholder terkait yang berkompeten di bidangnya.
- DPRD mengharapkan agar rapat klarifikasi tersebut pada angka 1 dapat dilaksanakan dalam tempo yang tidak terlalu lama agar polemik yang terjadi dapat segera diselesaikan dengan baik.
Dinamika Kekosongan Hukum di Kota Keris
Hal inilah, dikatakan M. Rusdi selaku Direktur Institut Anti Korupsi (IAK), yang sering menjadi penyebab timbulnya kebingungan (kekacauan, red) dalam kebijakan Bupati, sehingga mengakibatkan tidak adanya kepastian aturan yang stabil dan fleksibel.
“Karena kalau aturan tidak jelas maka tindakan pemerintah akan berpotensi korup dan disalahgunakan,” Jawab Rusdi, Sabtu (26/2) via Chat WhatsApp.
Terkait carut marut DPKS ini, Rusdi menanggapi, “Memang Bupati harus membuat aturan main melalui Perbup, tapi belum ada ketentuan mengenai sanksi bagi Bupati yang tidak membuat Perbup,” Ujarnya.
Kalau aturan mainnya memang belum jelas, tambah Rusdi, sementara dibutuh aturan main yang jelas, maka itu masuk dalam kategori kekosongan hukum.
“Apabila Surat Keputusan (SK) Bupati bertentangan dengan peraturan diatasnya, maka bisa disengketakan ke PTUN,” Imbuhnya.
“SK bisa dibatalkan kalau ada yang menggugat ke pengadilan dan diputus oleh hakim, bahwa SK tersebut bertentangan dengan norma yang ada. Artinya yang bisa membatalkan hanya Bupati sendiri (Dicabut, red) dan Pengadilan,” Jelas Pemuda asli Kepulauan Sumenep ini.
Ia pun mengapresiasi tentang usulan komisi IV, tapi tidak untuk surat rekomendasi dari Ketua DPRD Kabupaten Sumenep kepada Bupati Sumenep yang terkesan mengabaikan permasalahan di Kota Keris.
Karena instansi pendidikan, ungkap Rusdi, harusnya menjadi tempat untuk merumuskan konsep pendidikan yang ideal dan progresif.
“Saran dari ketua DPRD seakan mengabaikan beberapa masalah yang ada, sehingga ini menjadi saran yang kurang tepat,” Sesalnya.
“Tapi kalau calonnya telah melakukan beberapa kesalahan dan dibela oleh pejabat lainnya, ini akan menjadi jabatan yang kolutif, sistematis dan masif,” Tegas Pemuda asal Bumi Adhi Rasa itu.
Ketua BK DPRD Sumenep Saksi Mahkota Polemik DPKS
Direktur KontraS, Zamrud Khan, SH. mengatakan, Dewan Perwakilan Rakyat itu merupakan repsentatif dari rakyat. Apalagi mereka duduk atas suara rakyat, sebagaimana yang disebut dalam teori politik ialah “vox populi vox dei” suara rakyat suara tuhan.
Dari itulah Zamrud Khan menegaskan, bahwa Ketua BK (Badan Kehormatan) DPRD Sumenep adalah Saksi Mahkota terkait polemik ini.
Maka bukan sekedar mengambil alih tapi harus masuk didalamnya untuk bisa memproses, dimana letak permasalahan itu.
Kalau perlu, kata dia, misalnya di kesekretariatan Sekwan juga diperiksa walaupun memang itu bukan bagian utama.
“Utamanya itu kan di BK terkait permasalahan anggota DPRD, bukan di tempat lain. Apa lagi beliau (Ketua BK, red) ikut waktu rapat kerja komisi IV,” urainya, Selasa (1/3) petang, saat ditemui awak media dikediamannya.
Bupati Sumenep Dikadalin Anak Buahnya?
Kabag Hukum Sekretariat Daerah (Setda) Kabupaten Sumenep Hizbul Wathan, S.H., M.H. menyangkal, bahwa dengan tidak adanya Peraturan Bupati (Perbup) Sumenep tentang rekrutmen DPKS, pihaknya mengklaim tidak ujuk-ujuk melaksanakan urusan seleksi keanggotaan.
“Kita kan mengacu kepada keputusan menteri pendidikan nasional nomor : 044/U/2002 yang menyatakan untuk pembentukannya ini menjadi kewenangan bagi Bupati untuk melakukan pengukuhan,” kata Hizbul Wathan, kepada awak media saat ditemui, Senin (24/1/2022) di ruang kerjanya.
Karena disini, lanjut Wathan, salinan keputusan untuk membentuk DPKS ini salah satunya adalah disampaikan kepada Bupati, jadi tinggal pembentukan. Artinya, sambung dia, dibentuk dulu anggotanya baru pembentukan Perbup.
“Iya, jadi ruang teknis rekrutmen DPKS itu di panitia persiapan saat tahapan seleksi. Pembentukannya tidak butuh perbup, namun ketika nantinya dipandang perlu baru DPKS membuat Perbup-nya,” pungkasnya.
Opini : SK Bupati Sumenep Tak Ubahnya Bungkus Kacang
Surat Keputusan (SK) Bupati Sumenep yang merupakan sebuah surat ketetapan yang dibuat dalam bentuk tertulis dengan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur, seharusnya bersifat konkret, individual dan final.
Miris, apa alasan yang membuat Bupati Sumenep sehingga masih betah dikadalin anak buahnya? Padahal sudah jelas-jelas dalam kebijakannya terselip duri yang tidak menutup kemungkinan akan mencederai wibawa orang nomor wahid di Kota Keris ini.
Pada dasarnya, suatu peraturan perundang-undangan atau ketentuan di dalamnya, hanya dapat dicabut oleh peraturan perundang-undangan yang setara atau yang lebih tinggi diatasnya.
Misal, pada konsideran Keputusan Bupati Sumenep Nomor : 188/517/KEP/435.013/2021 tentang Dewan Pendidikan Kabupaten Sumenep 2021-2026, terdapat salah satu peraturan yang telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, pada era Menteri Muhadjir Effendy.
“Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor : 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku,” bunyi pasal 15 Permendikbud RI Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah.
Dalam hal ini, substansi tertentu dari Permendikbud RI 75/2016 yang dibentuk atas dasar Kepmendiknas 044/U/2002, yang secara tegas bertentangan dengan peraturan yang baru harus dikesampingkan.
Ketika suatu peraturan perundang-undangan atau ketentuannya tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, apakah sah dijadikan dasar hukum pada konsideran suatu Surat Keputusan Kepala Daerah?
Tentu sangat tidak relevan, apabila Surat Keputusan Kepala Daerah berdasarkan suatu regulasi yang tidak mempunyai kekuatan hukum. Seharusnya Kabag Hukum Setdakab Sumenep, tidak guyon saat meracik SK itu.
Semoga insiden ketidakcermatan Kabag Hukum ini, tidak terulang kembali. Karena Bupati Sumenep bertanggung jawab mengelola sistem pendidikan nasional di daerahnya, dan merumuskan serta menetapkan kebijakan daerah bidang pendidikan sesuai kewenangan bukan kesewenang-wenangan.