Sebuah Catatan Singkat Buku Ideologi Kritis PMII Karya Hainor Rahman
Oleh : Akhmad Mustaqim
OKEDAILY.COM – Di tembok putih Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) itu, di antara kebesaran dan konsistensi setiap generasi selalu lahir kader-kader, mereka yang militan atau sekedar menumpang tampang, begitu tak beruntungnya kalau menumpang saja.
Padahal PMII dibentuk oleh para pendiri dengan tujuan yang jelas serta konkrit untuk kehidupan mahasiswa, maupun mahasiswa dalam berproses selama menjadi mahasiswa, dan pasca menjadi mahasiswa mampu mengimplementasikan nilai-nilai penting yang terkandung di tembok besar PMII yang berbunga dan harum.
Di harumkan oleh siapa? tak lain dan tak bukan, adalah kader yang ingin mewarnai tembok yang telah indah, dengan pena serta ide cemerlang dilapisi pengetahuan, PMII lebih gemilang.
Buku “Nalar Kritis Ideologi” ditulis oleh Hainor Rahman, penerbit Kali Pustaka (November 2022). Penulis seorang kader aktif di PMII secara renyah serta lembut memberikan warna pada PMII, dengan tradisi intelektual, yang secara sadar berproses di PMII ada hal perlu ditangani dengan secara sadar. Lantas masalah apa yang penulis ingin tawarkan di dalam bukunya. Tentu mengenai kecakapan ber-literasi di tubuh mungil PMII di lingkunganya.
Saya sebagai orang yang memiliki pengalaman epik, kala diberi kesempatan berbicara di sebuah forum bernama Pendekar Pena. Dalam ingatan kecilku ada kebahagiaan tersendiri walaupun secara struktural tidak menjadi kader PMII, tapi saya sangat mengagumi dan menganggap guru kultural (MD) Mahbub Djunaidi yang karangannya, terjemahnya, dan bahkan esai-esainya tak pernah bosan-bosannya membaca.
Kala moment epik jadi pembicara itu, forum bernama Pendekar Pena. Mengingatkan pada maestro pendekar pena (sebutan Mahbub Djunaidi yang diberikan oleh Jakob Oetama/pemilik Koran Kompas). Di hadapan para kader itu ku ceritakan sekelumit pembacaan sejarah dan perkenalan dengan maestro pendekar pena dengan harapan ada regenerasi di PMII, muncul MD-MD baru di era sekarang yang tak hanya bisa berorasi, tapi cakap terhadap literasi.
Kini, setelah membaca buku Nalar Kritis Ideologi dari seorang kader PMII. Substansi isi buku secara umum, ia seolah-olah ingin memberitahukan kepada kita semua bahwa dalam tubuh PMII perlu kecakapan literasi dan bentuk konkret itu dapat menulis buku sekurang-kurangnya. Bentuk penebusan kepada Mahbub Djunaidi, dan Hainor Rahman berhasil dalam skala kecil membayar hutang dengan lahirnya buku pertama yang masih segar dan renyah diskursus-nya.
Pada dasarnya, penulis secara tersirat ingin menyampaikan kesadarannya mengenai pentingnya literasi. Hal tersebut dapat dijenguk pada awal-awal tulisannya yang begitu lantang dan getir. Lantang dengan menyuarakan literasi dengan ber-literasi itu penting. Sedangkan getirnya, tidak begitu banyak di lingkungannya gemar membaca (masih rendah kesadaran pentingnya literasi).
Buku yang ditulis oleh Hainor Rahman begitu mudah dipahami, karena dibagi menjadi enam bagian atau menjadi enam sub judul, dengan pembahasan yang setiap bagian sesuai sub topik setiap bagian, sehingga akan cukup rijid serta ringan mengingat-ingat intisari atau benang merah penulis ingin sampaikan. Walaupun saya bukan kader yang mungkin sangat awam akan hal tulisan ini. Saya menganggap tulisan ini secara pemikiran sangat segar.
Bagian I : Kader yang Tidak Sekadar
Literasi dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) seperti roda sepeda yang perlu berputar berbarengan agar bisa berjalan secara lancar, serta stabil. Pada tulisan bagian pertama ini, penulis menawarkan dasar-dasar penting berorganisasi dengan serius. Menjadi kader yang tidak sekedar (sekedar numpang nama/tidak serius berproses/ber-PMII).
Pada esai bagian satu topik Identitas Citra di Tubuh PMII. Dari topik tersebut jelas ingin menyampaikan pentingnya mengetahui serta tahu identitas ketika berorganisasi di PMII. Pada kutipan ;
Lantas bagaimana membentuk pribadi muslim bertakwa dalam pandangan PMII yang kemudian ditetapkan sebagai landasan utama tujuan besar organisasi? Diskursus “takwa” sudah berulang kali dikaji oleh kader PMII. Adapun premis mendasar kurangnya tekanan praksis tindakan dalam kehidupan sehari-hari kader dalam organisasi (Rahman, 2022:8).
Kutipan di atas sebuah usaha kesadaran seorang kader untuk menjadi kader berkarakter. Ber-PMII karakternya tersebut berupa dasar-dasar Islam. Bahwa untuk tetap menjadi kader yang baik tidak hanya ikut-ikutan, tapi juga bisa berproses secara serius untuk bisa menjadi bagian yang berkontribusi. Karena setelah memahami identitas PMII perlu dengan sadar melakukan nilai-nilai sesuai yang ada di dalam agama yang ada korelasi jelas dengan tubuh PMII.
Bagian II : Citra Mahluk Ulul Albab
Pada bagian kedua yang ditulis oleh seorang kader PMII. Tulisan tersebut menyampaikan sebuah pesan penting jikalau seorang manusia bisa berzikir, tentu menjadi salah satu pembeda makhluk bernama manusia sebagai manusia berpikir. Makhluk yang pada dasarnya memiliki pemikiran sempurna dari makhluk lain. Kesadaran ini memang begitu sederhana mungkin, akan tetapi untuk mencapai segala hal untuk mencapai kesadaran.
Intinya manusia yang paling berharga terletak ada pada isi otak atau pemikiran. Memang benar manusia berarti itu pemikirannya lainnya hanya menjadi bagian dari makhluk lain. Sebab keindahan menangkap atau mencipta hanya bisa dilakukan manusia karena makhluk lain hanya bisa menerima. Hal secara terserat disampaikan oleh manusia.
Dari sini dapat pembaca yang budiman pahami. Sungguh mulianya manfaat dari berpikir. Dari itu kader PMII dalam orientasi kegiatan organisasi hendaknya selalu diarahkan untuk melatih pisau analisis dan memberikan ekspresi berpikir yang luas dan terbuka pada seluruh disiplin keilmuan dan pengalamannya. Sehingga nantinya menjadi instrumen terbentuknya organisasi yang ideal mencetak banyak aktivis-aktivis unggul dan bermutu (Rahman, 2022: 42).
Dari kutipan di atas menunjukkan kalau seorang kader jangan hanya aktif menjadi penggerak, tapi juga menjadi pemikir. Sebab penggerak memiliki batasan, batasannya ialah hanya berpotensi kepada orang yang militansi yang sama, sedangkan kalau pemikiran selalu bisa direduksi oleh banyak orang sesuai dengan kemampuan setiap individu (kader).
Bagian III : Landasan Berpikir dan Memotivasi Kader
Pada bagian ini penulis menampilkan sebuah pandangan serta bisa diterapkan dalam konsep berorganisasi di dalam ber-PMII. NDP (Nilai Dasar Pergerakan) yang menjadi dasar penting. Landasan tersebut tidak hanya menjadi kader menjunjung nilai yang sesuai. NDP semestinya terpatri di dalam tubuh setiap kader yang telah disampaikan atau tancapkan semasa berproses di sebuah organisasi PMII.
NDP ini sangat penting untuk betul-betul dipahami oleh seluruh kader PMII. Sehingga apapun yang menjadi kerangka dasar kader dalam mengembangkan organisasi bertumpu pada prinsip NDP yang memotivasi, berpikir kritis dan pijakan langkah taktis yang efektif dan efisien dalam aktivitas organisasi (Rahman, 2022:76).
Dari kutipan di atas telah dipertegas oleh penulis bagaimana seorang kader mampu menjalankan esensi dari NDP. Sehingga semua kader yang mampu dan berproses di dalamnya mampu eksistensi berupa tindakan atau perilaku sesuai dengan nilai-nilai yang telah menjadi hal paling sakral. Kesakralan di sebuah organisasi dapat dilihat dari perilaku atau tindakan kader-kader dalam bersikap sesuai dengan yang ada di dalam NDP.
Bagian IV : Aswaja di Dalam Tubuh PMII
Ideologi merupakan keyakianan yang selalu menjadikan kita menganggap benar. Walaupun kebenaran di tubuh tersebut perlu disesuaikan dengan kebenaran apa yang telah disepakati di sebuah organisasi ataupun sebuah agama dan lainnya. Dalam hal ini sesuai dengan organisasi, sebab organisasi merupakan struktur yang jelas di tubuhnya. Bahwa kebenaran di Ahlussunah Waljamaah telah terpatri dari zaman KH. Hasyim Asyari, yang hingga kini perlu diamini dari setiap pergerakan.
Oleh karena itu, PMII disini memaknai Ahlussunnah Wal-Jamaah (Aswaja) sebagai “Manhajul Fikr” sebagai sebuah metode berpikir yang digariskan oleh Nabi dan para sahabatnya serta para tabi’in, dan “Manhaj Taghayyur Al-ijtima’i” sebagai sebuah pola perubahan sosial kemasyarakatan yang sesuai dengan ruh perjuangan Rasulullah dan para sahabatnya. Dua peta konsep pemahaman PMII itu menjadi manifestasi dari nilai-nilai Aswaja dalam konteks gerakan (Rahman, 2022:106).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa tidak lain tidak bukan sebuah Aswaja di PMII menjadi sebuah metode berpikir. Metode merupakan sebuah cara untuk menemukan sesuatu atau bisa menyelesaikan sesuatu. Pada manifestasi ini bisa menjadi jamak atau kesesuaian dengan konteks paling tepat serta sesuai. Sehingga ber-PMII mampu mengaplikasikan sekaligus mengetahui kebutuhan kader disesuaikan dengan konteks zaman.
Bagian V : Paradigma Kritis
Sudah semestinya seorang yang berorganisasi memiliki jiwa serta sikap kritis dan skeptis. Sebab dengan seperti itulah kualitas jiwa dalam membaca sekitar tidak hanya menjadi kebutuhan pribadi melainkan berkorelasi dengan orang lain atau bahkan di sebuah organisasi. Namun kritis tidak dilandasi dengan sebuah transformatif, dan produktif hanya bergumam yang tidak memiliki dasar.
Saat ini PMII dengan paradigmanya (Kritis, transformatif dan produktif) eksis sebagai sebuah organisasi besar yang banyak berperan di berbagai macam lini kehidupan sosial (Rahman, 2022:127).
Kesesuaian arah langkah berproses di Organisasi PMII pada intinya mampu membuka dada, membuka dada terhadap sebuah kritikan, menerima dan produktif. Secara langsung kader perlu kritis terhadap apa yang telah dilalui selama berproses, jika memang sesuai dilakukan dengan prosedur yang ada patut disyukuri.
Tapi jika tidak perlu menerima kritikan yang ada, agar ada sebuah kemajuan sebagai bentuk perkembangan yang sangat signifikan. Jika susah membuka dada (dikritik, siap-siaplah tidak akan maju dan akan menjadi organisasi yang begini-begini saja).
Bagian VI : Mahasiswa dan Organisasi
Mahasiswa sebagai sebutan. Banyak yang di luar sana ingin berkesempatan berkuliah dan bisa disebut mahasiswa, tapi mahasiswa bukan hanya sebutan atau identitas, melainkan sebagai orang terpelajar di sebuah perguruan tinggi yang lebih fokus pada apa yang dipilih atau jurusan.
Mahasiswa di kampus ibarat berada di dalam lumbung tawon, analogi ini seperti; mahasiswa sebagai tawon, kampus sebagai lumbung. Tawon hidup untuk menghasilkan madu, dan madu dibuat untuk kebutuhan manusia sebagai obat, walaupun ini tidak ada kaitannya dengan mata rantai, tapi sekilas contoh ini sesuai.
Mahasiswa sebagai pelajar sesuai dengan tridharma perguruan tinggi; pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, dan pengabdian kepada masyarakat. Maka paling tepat berproses di organisasi melatih kepekaan diri, kepemimpinan, dan bersosial, sekurang-kurangnya begitu mahasiswa di organisasi.
Menjadi mahasiswa dengan banyak harapan yang di katakan padanya, tentu terdapat banyak peran yang harus dikuasainya. Sehingga nanti ketika mahasiswa telah terjun ke masyarakat dapat menyelesaikan problem kompleks masyarakat dan memberi edukasi untuk meningkatkan sumber daya manusia demi mewujudkan kehidupan yang sejahtera (Rahman, 2022:144).
Kutipan di atas disampaikan oleh penulis menjadi bukti bahwa mahasiswa di sebuah organisasi dilatih bagaimana seorang mahasiswa mampu menghadapi hal-hal kompleks di lingkungan sekitar, bagaimana seorang mahasiswa mampu berproses memiliki pedoman dasar tidak hanya identitas diri sebagai mahasiswa yang dibanggakan, tapi menjadi mahasiswa menjadi solusi di masyarakat di skala kecil maupun di skala besar. Hal ini mungkin akan menjadi salah satu cara manusia hidup dihadapi begitu kompleks. Organisasi sebagai latihan memunculkan atau menumbuhkan kembangkan kesadaran diri.
Buku dengan tebal 213 diterbitkan Kali Pustaka (2022), secara garis besar membahas tentang arah gerak ber-PMII yang sesuai dengan apa yang berlaku di sebuah organisasi. Akan tetapi juga menawarkan sebuah perspektif baru di tubuh PMII agar menjadikan organiasasi lebih baik. Hal ini seperti perspektif yang kontekstual dengan perkembangan zaman. Di tembok menjulang tinggi berwarna putih PMII, diwarnai indah dengan perspektif yang ditulis kader menjadi lebih indah.
Biodata Singkat :
Akhmad Mustaqim, mahasiswa S2 Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Malang. Selain menjadi mahasiswa, menjadi tenaga pendidik menengah atas di salah satu sekolah di Kota Malang. Sekaligus editor lepas dan tetap di penerbit Kali Pustaka.
Selain itu aktif di komunitas Gerilya Literasi (sebagai founder), Pelangi Sastra Malang (sebagai anggota), Operasi Senyap Sarajevo (sebagai anggota), Sabtu Membaca (sebagai peserta), Mendat Pembajta (sebagai koordinator).