Okedaily.com, Sumenep – Keberadaan Blok Migas Kangean yang dioperatori Kangean Energy Indonesia Ltd (KEI) yang beroperasi di wilayah perairan (offshore) Kepulauan Sapeken. Belum menjamin kemerdekaan energi listrik bagi masyarakat di Kepulauan Sapeken, Sumenep, Madura, Jawa Timur. Terutama Desa Pagerungan Kecil.
Berlokasi dekat dengan pusat kegiatan eksploitasi KEI yang berada di Pulau Pagerungan Besar, Pulau Pagerungan Kecil termasuk ring satu karena dilewati jalur pipa gas bawah laut perusahaan. Tetapi, hal itu tak lantas membuat Desa Pagerungan Kecil serta sembilan desa lain di Kecamatan Sapeken, dapat 100 persen menikmati setruman dari listrik.
Dikutip dari portonews.com, baru pada tahun 2005 Desa Pagerungan Kecil dapat menikmati aliran listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD), yang pembangunannya merupakan hasil dari swadaya warga masyarakat dan sejumlah pihak. Baik dari swasta maupun pemerintah, salah satunya adalah Ir. Moh. Jakfar, MM. Pejabat Pemkab Sumenep.
Selain asli putra daerah Sapeken, Jakfar juga menjabat sebagai Kepala Dinas Perumahan Rakyat Kawasan Pemukiman dan Cipta Karya Kabupaten Sumenep. Perannya sangat besar sebagai penyambung komunikasi warga Desa Pagerungan Kecil secara intens dengan Pemkab Sumenep.
“Ya saya yang memfasilitasi ke Pemkab Sumenep. Kebetulan saya bekerja di lingkungan Pemkab. Saya menyampaikan aspirasi warga Pagerungan Kecil soal kelistrikan,” kata Jakfar.
Kemudian, Jakfar menerangkan, setelah memperoleh dana awal sebesar Rp75.000.000 dibangunlah gardu induk. Ketika ada tambahan dana, dibelilah tiang-tiangnya. Setelah tiangnya tersedia, dicarilah kabel. Baik kabel-kabel sisa perusahaan dan kabel yang bisa dibeli dengan harga terjangkau. Setelah itu baru dibeli mesin dieselnya.
“Kita beli tiang listriknya. Tapi harganya per batang sangat mahal, Rp 2.000.000. Kemudian dicari yang lebih terjangkau. Diperoleh harga yang lebih cocok, Rp 1.000.000 per batang. Pengangkutan tiang listriknya juga dibantu oleh perusahaan,” ungkap Jakfar.
Sungguh tidak mudah perjuangan warga Desa Pagerungan Kecil untuk dapat merasakan listrik. Kendati masih terbatas benderangnya cahaya listrik yang didapat, harus ditebus dengan harga setinggi langit hingga Rp 435.000 per bulan dengan daya hanya 4 Ampere, dan durasinya pun 5 jam saja setiap hari/malam.
Baca Juga : Carut Marut Perbup Sumenep Modal Suket Lolos Jadi Cakades
Baca Juga : Pipanisasi Bersumber Dana Desa Paliat Mangkrak
Baca Juga : Mengungkap Bunga Deposito Kasda Sumenep
Baca Juga : Ipungnga Marsuk : BK DPRD Gugat Saja Kempalan ke Pengadilan
Mahalnya biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat Desa Pagerungan Kecil demi sambungan listrik itu, diamini oleh Halilurahman selaku Kades setempat. Dirinya mengakui besarnya harga listrik itu dikarenakan cost operasional PLTD berbahan bakar solar yang tinggi.
“Artinya, bisa nyala ketika ada dana untuk membeli solar, sebagai bahan bakarnya. Kalkulasi kami, dalam rentang lima jam, berapa liter solar dihabiskan. Misalnya, sekian puluh juta itu baru dibagi dengan jumlah pelanggan. Nah itu yang dikenakan biayanya pada para pelanggan. Jadi, istilahnya gotong royong,” terangnya.
Padahal, Pulau Pagerungan Kecil memiliki potensi ekonomi yang luar biasa dari hasil lautnya. Seperti yang disampaikan oleh Rahem, Bendahara Desa Pagerungan Kecil kepada Okedaily.com, di sebuah tempat cangkruk di Sumenep. Jum’at malam (05/11).
“Para nelayan dari Pulau Raas, Sepudi, Probolinggo dan daerah sekitarnya berbondong-bondong datang berburu ikan ketika musimnya tiba. Oleh sebab itu, Desa Pagerungan Kecil mutlak membutuhkan listrik. Listrik sebagai penunjang pengelolaan dan hilirisasi industri ikan sehingga memiliki nilai tambah ekonomis. Muaranya mendongkrak taraf kehidupan dan pendidikan warga,” paparnya dengan semangat.
Diketahui, hanya Desa Sapeken saja yang listriknya menyala 24 jam sedangkan sepuluh desa lainnya persis seperti ungkapan pepatah, hidup segan mati tak mau. Apa yang dirasakan Desa Pagerungan Kecil juga dirasakan Desa Sabuntan.
“Selama ini, warga hanya mengandalkan penerangan listrik dari PLTD. PLTD milik per orangan dengan kapasitas 5000 Watt, yang diperuntukan bagi 10 Kepala Keluarga (KK). Durasi nyalanya mulai pukul 18.00-00.00. Selepas itu gelap gulita. Iurannya, setiap KK dikenakan Rp 600.000 per bulan,” ujar Ahmad Rasyid, Kepala Desa Sabuntan.
Belum lama ini, tepatnya pada 5 Oktober 2021 Pemerintah melalui PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) telah menerbitkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030. Dimana program rasio elektrifikasi menjadi concern bagi daerah dengan kondisi 3T yakni Tertinggal, Terdepan dan Terluar.
Rida Mulyana, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM) menjelaskan bahwa, kita perlu menggaungkan semangat agar rasio elektrifikasi 100 persen di Indonesia dapat tercapai.
Baca Juga : Tantang Jurnalis, Seorang Pemuda Sapudi Lindungi JUT Tak Sesuai RAB
Baca Juga : Ketua BPD dan Ketua Panitia Pilkades Sapeken Dipanggil Polres Sumenep
Baca Juga : Kegiatan Fiktif Desa Paliat Terungkap
Baca Juga : TKSK Bantah Pemutakhiran DTKS Sesuka Hati, Ketua Karang Taruna Kabupaten Sumenep : Potret Tak Tahu Diri
“Kita concern terhadap kondisi saudara-saudara kita yang kondisi daerahnya masih gelap dan juga concern terhadap kondisi daerah yang listriknya belum menyala selama 24 jam di daerah-daerah 3T,” tukas Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM tersebut.
Pemkab Sumenep harus terlibat lebih aktif dalam membantu pembangunan instalasi listrik di Kepulauan Sapeken, tempat dimana sumber migasnya dieksploitasi setiap hari sejak 30 tahun lalu.
Melalui Bupati Sumenep, perlu mendorong dan berkoordinasi dengan PLN tentang alternatif apa yang dapat dilakukan guna memenuhi kebutuhan dasar listrik 24 jam bagi warga Kepulauan Sapeken.