OKEDAILY.COM – Cak Fauzi, ngaturaken sugeng tanggap warsa (Baca : Bahasa Jawa) Nisfu Syaban 1444H. Saporaan pompong gik bada karena omor (Baca : Bahasa Madura).
Madura bukan Jawa, Lora Fauzi, Taretan Fauzi, Gus Fauzi, Cak Fauzi, atau panggilan apapun yang disematkan pada Bupati Sumenep tak membuat berubah rekam jejakmu.
Sebelum beranjak jauh, penulis ingin berkata bahwa tulisan ini hanya sebagai pilihan berita dalam lembar berbeda. Tentu nuansanya lain dari brosur penguasa dengan nilai ratusan juta.
APBD, bukan “Anggaran Personal Branding Dadakan”
Memasuki tahun 2023 ini, linimasa media sosial seolah mengalami banjir bandang, menghanyutkan sumpah dan sampah birokrat menyamarkan penderitaan rakyat, penerimaan penghargaan dan prestasi Achmad Fauzi alias Taretan Fauzi, alias Lora Fauzi, alias Cak Fauzi, sebagai Bupati Sumenep ter-publish secara massif.
Angka Membuntukan Logika
Saya membaca artikel yang menulis kegiatan Dahlan Iskan di FIFGroup Jakarta. Dalam membuka pemaparan materinya, beliau menyampaikan hal seputar dunia kewartawanan.
“Wartawan itu profesi, bukan disebut pekerjaan, karena memiliki otonomi untuk melakukan atau tidak melakukan, menulis atau tidak menulis. Karena otonomi itulah, makanya wartawan terkadang cenderung arogan, sehingga untuk mengontrolnya yaitu dengan kode etik.” papar Dahlan.
Contoh kasus pada tanggal 4 Desember 2022 lalu, dimana sejumlah media memberitakan tentang adanya cafe atau rumah makan di Kabupaten Sumenep yang kedapatan menjual miras, dengan tertangkap tangan oleh petugas berwenang.
Lalu kemudian, tidak berselang lama muncul lagi pemberitaan yang memberitakan bahwa tidak benar cafe atau rumah makan itu menyediakan minuman keras. Padahal dokumentasi berupa foto dan video, sudah bertebaran di berbagai WhatsApp Group.
Benar saja pesatnya pertumbuhan media, dunia Pers sedang menghadapi tantangan berat. Salah satu modal terpenting yang perlu dijaga adalah independensi dan kejujuran nurani. Jika ada wartawan yang tidak bisa menjaga integritas bisa saja ia hanya menghamba pada uang dan tuan yang membayarnya.
Saya membayangkan seandainya ada penghargaan yang dibeli dari APBD atau dari uang pribadi, apakah akan ada yang berani menulisnya? atau memilih diam tanpa telinga?.
Saya hanya menulis pengalaman pribadi di tahun 2019 lalu, saya sempat ditawari menjadi salah satu penerima piala penghargaan, iya seolah sebagai tokoh berpengaruh-lah hehehe… dan disuruh menyiapkan sejumlah uang.
“Bagaimana cara saya menjelaskan tentang piala itu, jika suatu saat saya ditanya oleh anak cucu saya?,” tanyaku kepada temen yang menawarkan, kan tidak mungkin saya mengatakan piala itu saya beli dari pasar bangkal atau dibeli pada ajang …Award, misalnya.
Berbeda dengan Bupati Sumenep anyar yang menjabat sejak tahun 2021 lalu, acap kali dicitrakan sebagai pemimpin yang sukses menjalankan roda pemerintahan. Bukan kaleng-kaleng, penghargaan demi penghargaan terus diterimanya.
Selain ngaot (Istilah Madura : Sapu bersih) berbagai penghargaan itu, konon sejak kepemimpinannya angka kemiskinan dan pengangguran terus menurun, promosi dan publikasi seolah menjadi bumbu penyedap rasa, aromanya menyeruap menyengat hidung memedihkan mata.
Surplus Legalitas Krisis Legitimasi
Banyaknya penghargaan yang diperoleh dengan prestasi harusnya membuat penguasa percaya diri. Jika tidak, maka wajar harus ditambal dengan brosur-brosur promosi.
Kabar burung mengatakan kontrak satu OPD dengan satu perusahaan media, dalam satu bulan ini saja dapat menelan anggaran hingga Rp 60 juta. Belum OPD lainnya, bisa saja satu media mendapat Rp 240 juta. Tapi begitulah daripada menambal jalan di Kepulauan, lebih berguna menambal kulit kekuasaan yang penuh luka.
Terakhir saya pernah menulis tentang dua bapak miskin perkotaan yang berjarak tidak terlalu jauh dari rumah dinasnya. Setelah itu baru Dinas Sosial turun, Baznas juga turun, untuk sekedar mengantarkan amplop, beras dan mie instan.
Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Bagaimana warga Sumenep yang meninggal terbakar berpelukan di Jakarta?, apakah sudah ketahuan Identitasnya?, siapakah keluarganya?, siapa saja rekan Pers yang sudah investigasi?. Kita tunggu dibungkus seperti apa nantinya.
Dalam pikiran saya selalu muncul dimana letak perbaikan yang dilakukan oleh Bupati Sumenep? Publik kemudian membandingkan lagi dengan kepemimpinan sebelumnya. Tak terelakkan obrolan warung kopi kembali menyimpulkan, bahwa pemerintahan sekarang justru lebih buruk dari sebelumnya.
Kegenitan obrolan para penikmat warung kopi itu menyeruak, lantaran adanya isu tentang monopoli proyek yang dikomandani trio wekwek (istilah Hambali mata madura), karena yang demikian tidak terjadi pada periode bupati sebelumnya.
Dalam konteks lain, seperti kelaparan yang hampir dialami masyarakat Masalembo, mencerminkan lemahnya perhatian pemerintah daerah terhadap kehidupan rakyat kepulauan. Otak saya tidak paham ketika ada sejumlah oknum media yang memberitakan Bupati gerak cepat, iya cepat dalam memberikan statemen di media.
Lalu bagaimana dengan dana bagi hasil migas yang dijanjikan, apakah sudah mulai dinikmati masyarakat kepulauan?
Beberapa waktu lalu, saya pun menulis tentang pulau ter-pulaukan. Bagaimana masyarakat pulau bisa menikmati infrastruktur? sedang kebutuhan pangan saja tidak dapat diantisipasi. Janji Bupati disaat sudah menjabat pun seperti menyisakan bau amis, penuh kudis membekas dalam wajah birokrasi yang dipimpinnya.
Penulis : Fauzi As
Pemerhati Kebijakan Publik Kota Keris.
Tulisan opini ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis, dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi media okedaily.com.
Kanal opini media okedaily.com terbuka untuk umum. Maksimal panjang naskah 4.000 karakter, atau sekitar 600 kata.
Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri anda dan nomor telepon yang bisa dihubungi. Kirim ke alamat e-mail: opini@okedaily.com.