OKEDAILY, MADURA – Pencabutan laporan polisi, pada Sabtu (1/4/2023) malam, oleh korban kekerasan pers masih menjadi tranding topik perbincangan khalayak, khususnya dikalangan aktivis dan wartawan di Kabupaten Sumenep. Berbagai pandangan pun bermunculan, tidak sedikit yang menilai langkah itu merupakan pelecehan terhadap marwah profesi jurnalis.
Dikabarkan sebelumnya, dua wartawan Sumenep atau korban kekerasan pers tersebut adalah berinisial MW jurnalis media online kabaroposisi.net dan rekannya berinisial SW dari media koranpatrolixp.com, pada Minggu (26/3/2023) lalu, mendapatkan perlakuan tak manusiawi oleh mantan Kades dan Kades Batuampar, Kecamatan Guluk-Guluk, Kabupaten Sumenep.
Diketahui, kekerasan pers yang dilakukan mantan Kades Batuampar berinisial MFR dan Kades setempat berinisial RB. AMA terhadap kedua wartawan Sumenep tersebut, ialah berupa perampasan barang-barang berharga milik para korban, hingga terjadi tindakan penganiayaan.
Mungkin, peristiwa kekerasan pers yang terlanjur dilabel runtuhnya marwah profesi jurnalis itu, tidak akan pernah hilang dalam ingatan publik Kota Keris, atas kasus perampasan dan penganiayaan yang menimpa dua wartawan Sumenep tersebut yang berakhir Restorative Justice.
Banyak pula anggapan, bahwa keputusan kedua korban yang lebih memilih penyelesaian keadilan restoratif atau restorative justice dengan para tersangka, merupakan bentuk penghianatan terhadap para jurnalis dan aktivis yang ikut serta dalam aksi solidaritas, pada Kamis (30/3/2023), di depan Mapolres Sumenep untuk memperjuangkan hak hukumnya.
Terlebih menyayat hati, dengan adanya mahar 150 juta rupiah yang menjadi bumbu penyedap atas digelarnya jalan damai tersebut, pada Senin (3/4/2023) di Mapolres Sumenep, sebagaimana diatur dalam Perpol Nomor 8 Tahun 2021. Hal itu pula yang memicu gaduh dunia kewartawanan di Kabupaten ujung timur Pulau Madura.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa pasal berlapis yang disangkakan kepada para pelaku kekerasan pers itu, diantaranya adalah Pasal 368 ayat (1) atau pasal 335 ayat (1) ke 1e, 2e Jo pasal 55 ayat (1) ke 1e KUHP Jo pasal 18 ayat (1) Jo pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers Jo pasal 55 ayat (1) ke 1e KUHP.
Adalah Bambang Hodawi, SH. salah satu Pengamat Hukum sekaligus Advokat kondang Bumi Arya Wiraraja angkat bicara, melihat dimana pasal yang menjerat para tersangka tersebut tidak termasuk dalam katagori yang dapat diselesaikan melalui Restorative Justice.
“Fenomena ini akan menjadi simbol kandasnya penegakkan hukum Polres Sumenep, yang berakibat runtuhnya marwah jurnalis di Kota Keris,” katanya, Kamis (6/4).
Menurut Bambang, penegakan hukum Polres Sumenep memang layak untuk ditertawakan, karena tumpul keatas dan tajam kebawah. Artinya, hukum itu hanya tegak apabila menyentuh wong cilik, namun loyo tatkala berhadapan dengan orang kaya alias berduit.
“Tak heran jika penegakan hukum saat ini menjadi tertawaan masyarakat, karena jika menyentuh orang beruang (banyak duit) hukum menjadi permainan seperti boneka lemah tak berdaya,” sesal Bambang.
Kendari demikian, dirinya sangat menyayangkan ketika perkara tindak pidana perampasan dan penganiayaan yang dilakukan oleh mantan Kades dan Kades Batuampar dihentikan karena Restorative Justice.
“Restorative justice itu memang baik, tapi tidak semua tindak pidana dapat diselesaikan dengan demikian. Maka dari itu wajib hukumnya Polres Sumenep melanjutkan kasus tersebut walaupun tanpa sepengetahuan atau persetujuan korban,” tegas Bambang.
Ia juga menyebut, apabila Polres Sumenep tidak melanjutkan kasus tersebut, tentu akan menjadi polemik baru yang dapat merugikan Korps Bhayangkara itu sendiri. Karena ada ruang yang akan mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi polri, dalam penegakan hukum.
“Bahkan tidak menutup kemungkinan, ada pihak-pihak lain yang akan membawa kasus ini ke Polda Jawa Timur atau ke Mabes Polri, selain juga akan mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polres Sumenep,” tukasnya.
Sebenarnya, sambung Bambang, sudah ada ketentuan khusus tindak pidana yang bisa diselesaikan melalui Restorative Justice, tetapi kemudian tidak berlaku untuk perkara yang telah menciptakan kegaduhan di tengah masyarakat, khususnya kuli tinta.
“Jadi Polres Sumenep tidak mempunyai alasan apapun untuk tidak melanjutkannya, karena kasus tersebut telah membuat gaduh masyarakat khusunya insan pers,” pungkas Bambang yang berpenampilan nyentrik dengan khas rambut cerah itu.
Seyogyanya, sangat menarik terkait apa yang diutarakan pengacara nyentrik tersebut untuk ditindaklanjuti oleh para jurnalis Kota Keris, guna mengedukasi khalayak pada umumnya. Sementara hingga berita ini diterbitkan, redaksi okedaily.com belum berhasil mendapatkan keterangan resmi dari pihak Polres Sumenep.