SUMENEP – Pemetaan sejumlah desa kategori kemiskinan ekstrim yang tersebar pada lima Kecamatan di wilayah Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, semakin menyita perhatian publik.
Pasalnya, Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan yang disingkat TKPK Kabupaten Sumenep dalam menentukan desa kategori kemiskinan ekstrim tersebut, mengacu terhadap Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Dan disinyalir tanpa rencana strategis dan program yang jelas.
Hal itu diketahui saat perwakilan jurnalis trotoar mendatangi Sekretariat TKPK Kabupaten Sumenep melalui Kabid Pemerintahan dan Pembangunan Manusia, Bappeda (Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah) Kabupaten Sumenep.
Adalah Ahmad Salaf Junaidi, menyampaikan bahwa indikator pemetaan desa kategori kemiskinan ekstrim secara umum meliputi masyarakat yang berpendapatan 1,9 dolar atau dalam bentuk rupiah dikalikan Rp14.000 perdolar setara dengan Rp26.600 perhari.
“Itu kata-kata aslinya, itu sebenarnya muncul, itu memang ada di tujuan pembangunan berkelanjutan atau periode pertama, kemudian itu yang diambil,” ujar Salaf, Kamis (7/4/2022).
Lebih lanjut Salaf, kepada perwakilan Dewan Pimpinan Cabang Asosiasi Wartawan Demokrasi Indonesia (DPC AWDI) Kabupaten Sumenep saat ditemui di ruang kerjanya menerangkan.
“Dalam konvensi sedunia yang termasuk dalam Perpresnya 57 Tahun 2017 tentang STJ itu, itu menuntaskan kemiskinan ekstrem itu pada tahun 2030,” tukasnya.
Adapun terkait Perpres yang disebutkan Salaf itu, sedikit membuat bingung perwakilan AWDI Kabupaten Sumenep. Kemungkinan yang ia maksud, ialah Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
“Tetapi oleh Pemerintah kita yang sekarang itu diubah dimajukan ke 2024. Apakah itu disesuaikan dengan periodenisasi (periodesasi, red) Presiden, saya tidak tahu. Artinya kalau sedunia itu dimulai tahun 2030. Kemudian, kalau mengenai jumlahnya dan semacamnya itu, itu datanya dari BPS Sumenep,” kata Salaf, selaku bagian dari TKPK Kabupaten Sumenep.
Bahkan, sambung Salaf, secara detail terkait indikator pemetaan desa kategori kemiskinan ekstrim itu sudah ditetapkan pada bulan Juni Tahun 2021 lalu, sesuai hasil rapat pertama dengan Pemerintah Pusat.
“Indikator secara detail mulai dari awal pada bulan Juli tahun 2021, rapat pertama dengan Pemerintah pusat pada waktu itu memang tidak dijelaskan secara detail. Yang ada disitu hanyalah bahwa se-Indonesia ada tujuh Provinsi kemudian setiap provinsi itu ada lima Kabupaten, dan setiap Kabupaten itu ada lima Kecamatan dan setiap Kecamatan lima desa, sehingga ada dua puluh lima desa,” tuturnya.
Mengenai hal itu juga, pihaknya mengaku tidak akan menutup-nutupi bahwa indikator dari program tersebut jelas berdasarkan DTKS yang ada di Dinas Sosial Kabupaten Sumenep.
“Itu saya tidak bisa menutup nutupi, apa istilahnya mempoles dengan bahasa apa. Karena memang seperti itu aslinya, memang seperti itu resminya berkali-kali bilangnya tertulisnya seperti itu. Akhirnya, kami menentukan bahwa karena di Dinas Sosial itu ada DTKS yang sudah ada indikatornya dengan jelas,” bebernya.
Masih menurut Salaf, hal itu diambil dikarenakan tidak adanya ketentuan dari Pemerintah Pusat. Bahkan terkait nama-nama Kecamatan, kata dia, tidak ada perintah pengusulan.
“Karena tidak ada dari pusat tidak ditentukan tidak disuruh mengusulkan nama-nama kecamatan. Diambillah lima Kecamatan dengan jumlah keluarga, jumlah masyarakat yang paling banyak masuk didalam DTKS,” Dalih Salaf.
“Jadi lima Kecamatan yang DTKS nya paling tinggi, Lenteng, Pragaan, Batang-batang, Arjasa, Sapeken. Desa nya juga seperti itu yang DTKS tertinggi di Kecamatan itu,” urainya.
Salaf pun mengaku, bahwa setelah rapat pertama bersama dengan Pemerintah Pusat waktu itu merasa kebingungan, karena tidak ada penjelasan detail tentang program kemiskinan ekstrim itu.
“Terus terang waktu itu kami bingung mau pakek indikator apa, karena tidak ada pejelasan dari pusat. Jadi itu yang saya jadikan acuan, itu tahun 2021,” kilahnya.
“Sebenarnya, ditengah-tengah itu berubah. Pemerintahan sekarang memang, mungkin pemerintahan yang paling hebat diantara pemerintahan sebelumnya paling pinter mungkin ya,” tegasnya.
Selain itu, pihaknya juga merasa dibuat kebingungan dengan berubahnya kebijakan tentang program ini. Karena jelasnya, dengan perubahan itu akan berdampak terhadap anggaran yang ada.
“Itu berubah kebijakannya bukan lagi tujuh provinsi lima Kabupaten dan lima Kecamatan dan lima desa. Tetapi seluruh desa dan seluruh Kecamatan dan seluruh yang ada di Indonesia. Anggarannya darimana kan tidak cukup kalau seperti itu,” tandasnya.