OKEDAILY, JATIM – Berdasarkan laporan hasil pemeriksaan auditor negara atas LKPD Kabupaten Jember Tahun 2020 Nomor 79.B/LHP/XVIII.SBY/06/2020 tanggal 29 Juni 2020, telah mengungkapkan permasalahan terkait kebijakan akuntansi.
Gudang data okedaily.com membuka, kebijakan akuntansi yang berlaku di Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jember belum disusun secara lengkap dan belum sepenuhnya disusun sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan atau SAP.
Menurut hasil pemeriksaan auditor negara, kebijakan akuntansi yang telah ditetapkan belum mengatur kebijakan terkait dengan laporan keuangan konsolidasian dan penyajian laporan keuangan badan layanan umum daerah atau BLUD.
Tidak hanya itu, kebijakan akuntansi tersebut belum mengatur terkait penyusutan aset tetap, dana bergulir, belanja bantuan sosial, aset tak berwujud, hibah, kerugian daerah, pendapatan perpajakan dan non perpajakan, dan aset yang dibatasi penggunaannya.
Bahkan, sistem akuntansi yang berlaku di Pemkab Jember dikatakan belum disusun secara lengkap sesuai proses bisnis sebagaimana tertuang dalam hasil pemeriksaan auditor negara tersebut.
Diketahui, sistem akuntansi pejabat pengelola keuangan daerah atau PPKD belum mengatur tentang sistem pendapatan transfer dana desa beserta transfer/beban transfer, pendapatan non operasional, serta hasil investasi yang telah diumumkan namun belum diterima kasnya.
Sistem akuntansi tersebut juga tidak mengatur tentang prosedur jurnal, penyusunan buku besar, penyusunan neraca saldo PPKD, penyusunan laporan keuangan PPKD, serta penyusunan laporan keuangan konsolidasi oleh SKPKD selaku entitas pelaporan termasuk konsolidasi atas laporan BLUD.
Selain itu, sistem akuntansi satuan kerja perangkat daerah atau SKPD Pemerintah Kabupaten Jember belum mengatur tentang sistem kewajiban, penyusutan, dan penyesuaian beban jasa dibayar dimuka.
Sistem akuntansi tersebut juga tidak mengatur tentang prosedur jurnal, penyusunan buku besar, penyusunan neraca saldo SKPD, dan penyusunan laporan keuangan yang harus dilakukan oleh seluruh OPD sebagai entitas akuntansi termasuk yang membawahi BLUD yang telah menerapkan pola pengelolaan keuangan BLUD.
Belum lengkapnya sistem akuntansi yang berlaku berdampak pada proses penyusunan laporan keuangan Tahun 2019 diantaranya sebagai berikut :
- PPKD tidak menyusun laporan keuangan;
- Laporan keuangan OPD bukan hasil konsolidasi atas laporan keuangan BLUD yang dibawahi, sehingga masih disajikannya utang piutang antara BLUD dengan Dinas Kesehatan yang membawahi yang berdampak pada penyajian pendapatan dan beban di LO;
- Proses jurnal yang membentuk buku besar akun yang disajikan dalam laporan keuangan tidak dilakukan oleh PPK-SKPD, melainkan oleh Bidang Akuntansi BPKAD;
- Penjurnalan yang dilakukan tidak sesuai dengan SAP; dan
- Kertas kerja penyusunan akun-akun yang disajikan dalam laporan keuangan baik oleh OPD maupun PPKD tidak ada.
Di Tahun 2020, Bupati mengeluarkan peraturan terkait kebijakan akuntansi melalui Perbup Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Perbup Nomor 20 Tahun 2014 tentang Kebijakan Akuntansi Pemerintah Kabupaten Jember.
Kebijakan akuntansi tersebut mengatur mengenai akuntansi piutang, akuntansi aset tetap dan perubahan kebijakan akuntansi atas pengelompokan atau pengklasifikasian beban untuk laporan operasional atau LO.
Hasil pemeriksaan auditor negara lebih lanjut menunjukkan masih terdapat ketidaklengkapan dan ketidaksesuaian atas perbaikan yang telah dilakukan tersebut terkait dengan kebijakan akuntansi tentang aset tetap tidak mengatur definisi, klasifikasi, pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan atas masing-masing jenis aset tetap.
Hal ini berdampak pada pengelolaan aset tetap Tahun 2020 yang belum tertib antara lain terdapat aset tetap yang dicatat dengan nilai perolehan Rp0,00, aset tanah yang disajikan tidak termasuk tanah di bawah jalan dan irigasi, dan pencatatan aset secara gabungan dan gelondongan.
Mirisnya lagi, kebijakan akutansi tentang penyajian laporan keuangan Pemkab Jember tidak mengatur hal-hal terkait:
- Penyajian laporan realisasi anggaran atau LRA berdasarkan basis yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan tentang anggaran;
- Penetapan unit yang melaksanakan fungsi perbendaharaan umum;
- Pernyataan bahwa pemerintah dibatasi dengan anggaran dalam bentuk apropriasi atau otorisasi anggaran sehingga laporan keuangan harus menyediakan informasi mengenai apakah sumber daya ekonomi telah diperoleh dan digunakan sesuai dengan anggaran yang ditetapkan; dan
- Klasifikasi aset (aset lancar dan aset non lancar), pengakuan aset, pengukuran aset, klasifikasi kewajiban, pengakuan kewajiban, pengukuran kewajiban, ekuitas, informasi yang disajikan dalam neraca atau dalam catatan atas laporan keuangan (CaLK).
Hal tersebut berdampak antara lain pada penyajian belanja honorarium kegiatan kepada pegawai maupun non pegawai sebesar Rp68.810.161.877,00 yang disajikan sebagai belanja jasa, meskipun anggaran dan dokumen realisasinya adalah belanja pegawai.
Atas penyajian tersebut, telah dilakukan koreksi. Namun untuk penyajian beban tidak dapat dilakukan koreksi karena kebijakan akuntansi yang berlaku mengatur bahwa atas pembayaran honorarium disajikan sebagai beban jasa, bukan beban pegawai.
Selanjutnya, kebijakan akuntansi tentang LRA dan laporan perubahan saldo anggaran lebih (LP-SAL) Pemkab Jember belum mengatur tentang akuntansi anggaran, pendapatan LRA, belanja, surplus/defisit LRA, pembiayaan, penerimaan pembiayaan, pengeluaran pembiayaan, pembiayaan netto, dan sisa lebih/kurang pembiayaan anggaran.
Tetapi terkait kebijakan akuntansi tentang laporan arus kas (LAK) mengatur bahwa klasifikasi aktivitas arus kas terdiri dari aktivitas operasi, investasi aset non keuangan, pembiayaan, dan transitoris. Hal tersebut tidak sesuai dengan SAP yang mengatur klasifikasi aktivitas arus kas terdiri dari aktivitas operasi, investasi, pendanaan, dan transitoris.
Begitu pun kebijakan akuntansi, mengatur bahwa hutang diakui pada saat pengeluaran sumber daya ekonomi akan dilakukan untuk menyelesaikan kewajiban yang ada sampai saat pelaporan dan perubahan atas kewajiban tersebut mempunyai nilai penyelesaian yang dapat diukur dengan handal.
Adapun terkait kewajiban yang dimaksud itu ialah dapat timbul dari transaksi dengan pertukaran, transaksi tanpa pertukaran, kejadian yang berkaitan dengan pemerintah, dan kejadian yang diakui oleh pemerintah.
Dengan demikian utang dapat diakui apabila telah melalui serangkaian pemeriksaan kelengkapan administrasi. Namun, kebijakan akuntansi belum mengatur tentang persyaratan administrasi yang harus dipenuhi untuk dasar pencatatan dan pengakuan utang.
Dalam pelaksanaannya, sebagaimana dijelaskan auditor negara dalam laporan hasil pemeriksaan tersebut, bahwa pencatatan dan pengakuan utang Pemkab Jember dilakukan hanya berdasarkan dari laporan organisasi perangkat daerah atau OPD terkait tanpa melalui verifikasi lebih lanjut.
Hal tersebut terlihat pada penyajian utang pengadaan bak cuci tangan (wastafel) sebesar Rp63.166.234.580,00 yang tidak didukung administrasi dokumen sumber dan bukti-bukti transaksi yang memadai. Bidang Akuntansi BPKAD menyajikan nilai utang tersebut hanya berdasarkan ringkasan laporan dari OPD terkait.
Selain itu, terdapat kewajiban pemerintah daerah yang belum disajikan atas pekerjaan pengadaan wastafel sebanyak 218 paket pekerjaan dengan nilai Rp52.459.100.171,20. Nilai kewajiban tersebut belum dapat dicatat sebagai utang karena tidak ada SOP yang mengatur persyaratan atas transaksi-transaksi yang berkonsekuensi terhadap dan harus diakui sebagai utang.
Hal ini akan mengakibatkan adanya utang kepada pihak ketiga yang pembayarannya akan dilakukan pada periode berikutnya. Akan tetapi hal ini hanya berlaku dalam kondisi tertentu dan tetap harus mengacu ke peraturan pengganggaran dan pelaksanaan anggaran.
Sudah bukan rahasia publik, kondisi tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2010 tentang SAP pada Pasal 6 ayat (1) yang menyatakan bahwa pemerintah menyusun sistem akuntansi pemerintahan yang mengacu pada SAP.
“Sistem akuntansi pemerintahan pada pemerintah daerah diatur dengan peraturan gubernur/bupati/walikota yang mengacu pada pedoman umum SAP,” bunyi Pasal 6 ayat (3) PP tersebut.
Kondisi tersebut juga tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 64 Tahun 2013 tentang Penerapan SAP Berbasis Akrual pada Pemerintah Daerah Pasal 4 ayat (3).
“Kebijakan akuntansi akun mengatur definisi, pengakuan, pengukuran, penilaian dan/atau pengungkapan transaksi atau peristiwa sesuai dengan pernyataan SAP atas pemilihan metode akuntansi atau peristiwa atas kebijakan akuntansi dalam SAP dan pengaturan yang lebih rinci atas kebijakan akuntansi dalam SAP,” bunyinya.
Sedangkan pada Lampiran II huruf B Penyusunan SAPD menyatakan, untuk menyusun SAPD perlu memperhatikan beberapa tahapan antara lain identifikasi prosedur.
Tahapan penyusunan SAPD dimulai dari memahami proses bisnis pada pemerintah daerah khususnya terkait siklus pengelolaan keuangan daerah. Berdasarkan siklus tersebut tim penyusun SAPD mengidentifikasi prosedur-prosedur apa saja yang harus dibuat.
Selain itu, kondisi tersebut juga tidak sesuai dengan Buletin Teknis SAP Nomor 22 tentang Akuntansi Utang berbasis Akrual pada Bab II Angka 2.1.1. yang mengatur pada akhir periode pelaporan, dimungkinkan adanya pengakuan kewajiban atas transaksi yang belum dilakukan pembayarannya.
Maka hal tersebut mengakibatkan tujuan pelaporan keuangan untuk menyajikan informasi yang bermanfaat bagi para pengguna dalam menilai akuntabilitas dan membuat keputusan ekonomi, keputusan sosial, maupun keputusan politik berisiko tidak tercapai.
Perlu diketahui bahwa hal tersebut disebabkan Kepala BPKAD belum menindaklanjuti rekomendasi hasil pemeriksaan auditor negara sebelumnya dengan melakukan pemutakhiran atas kebijakan akuntansi dan sistem akuntansi secara menyeluruh.