Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 325x300
Opini

Ribut-ribut di Tetangga Sebelah, Kebocoran APBD?

Avatar of Okedaily
×

Ribut-ribut di Tetangga Sebelah, Kebocoran APBD?

Sebarkan artikel ini

Lembar VI. Oleh : Fauzi As

Ribut-ribut di Tetangga Sebelah, Kebocoran APBD?
Fauzi AS. ©Okedaily.com

OKEDAILY.COM – Pada bulan April lalu, bermula dari selisih paham antara suami istri. Keributan terjadi terkait anggaran pembelian seragam sekolah untuk anaknya sendiri.

Mbak Etti, dia ibu dari dua anak kembar yang baru mendaftar masuk sekolah dasar. Ia pamit mau membelikan seragam untuk anaknya.

Pasang Iklan Anda Disini
Example 325x300

Dua orang anaknya bernama Novan dan Novin. Tetapi hanya Novin yang masih belum dibelikan, karena Novan sudah dipesankan oleh kakek-nya.

Waktu itu sang kakek berpikir simpel. Dia berinisiatif mendatangi tukang jahit di sebelah rumahnya, Pak Maman. Memang kehidupan Penjahit ini serba pas-pasan. Maka kakek tua itu berpikir berbagi rezeki meski hanya jadi sesuap nasi.

Kakek : “Berapa harga seragam paling bagus? untuk si Novan cucu saya yang baru duduk di kelas satu” Tanya sang kakek setibanya di rumah Pak Maman.

Kemudian, Pak Maman menghitung mulai harga bahan baju dan celana yang total harganya Rp30.000, dengan ongkos jahit Rp50.000.

Kakek : “Apakah itu sudah bagus seperti merek teladan?” Tanya sang kakek memastikan yang terbaik untuk cucunya.

Pak Maman : “Ini sudah lebih bagus dari merek itu. Total harga seragam jadi Rp80.000” ucapnya meyakinkan.

Kemudian, sang kakek membayar dengan menggunakan uang pecahan seratus ribu rupiah. Sembari ia berucap, “Sisanya buat kamu Man”.

Pak Maman merasa bahagia mendapat bayaran lebih dari biasanya. Dia merasa diperhatikan oleh kakek itu.

Lain lagi cerita Mbak Etti yang meminta anggaran seragam Rp200.000. Namun sang suami, Agus tetap keberatan dengan permintaan uang seragam yang ia anggap terlalu mahal harga itu, karena selisih lebih dari 100% dibanding produk Pak Maman.

Agus : “Mahal itu ma, mending kita pesan saja di tempat pesanan Bapak kemarin, di Pak Maman. Masak harganya lebih dua kali lipat?” ucapnya kepada Mbak Etti, seraya membandingkan harga seragam pesanan sang kakek (orang tua-nya).

Baca Juga :  Pemerintah Sumenep Siapkan Dana Besar untuk Program BPJS Kesehatan

Agus : “Hitung-hitung ini pemberdayaan. Kita berbagi manfaat”

Namun Etti tetap kekeh meminta uang sejumlah Rp200.000. Untuk meyakinkan istrinya, Agus menunjukkan harga seragam sekolah yang terpampang di platform toko pedia.

Agus : “Coba ini lihat harga seragam lengkap (baju, celana, topi, sabuk, dasi dan kaos kaki) hanya Rp100.000. Itu sudah bagus” ungkapnya sambil menunjukkan link akses online shop itu, Klik Disini.

Ia menganggap istrinya melakukan pemborosan terhadap Anggaran Pokok Belanja Dapur (APBD) 2022. Namun Mbak Etti tetap ngotot dengan alasan, nanti kalau ada sisanya akan dikembalikan.

Agus : “Walah ini benar-benar Kebobolan APBD (Anggaran Pokok Belanja Dapur), seragam Novin di mark-up 100 persen” gumam sang suami dalam hatinya.

Cerita di atas mengingatkan penulis akan pemberitaan Media Berita Jatim tayang pada Senin, 23 Mei 2022, 18:56 WIB dengan judul : “Gandeng Penjahit Lokal Pemkab Sumenep Bagikan Seragam Gratis Bagi Murid SD

Ada beberapa poin yang saya ‘high light’ dari berita dengan judul di atas, diantaranya :

1. Program seragam gratis ini sebagai upaya pemenuhan sarana dan prasarana guna peningkatan kualitas pendidikan di Sumenep. Hal itu memunculkan banyak spekulasi yang berbeda. Apa relevansi seragam gratis dengan peningkatan mutu pendidikan di Sekolah Dasar?

Jika tujuannya peningkatan kualitas pendidikan harusnya lebih diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi penentu mutu dan kualitas dalam proses kegiatan belajar mengajar (KBM). Tetapi hal ini sekedar pendapat dari pemerhati saja atau sekedar opini belaka.

2. Selain itu Pak Kadis Pendidikan memberikan penjelasan bahwa program seragam gratis ini untuk meringankan beban para wali murid. Namanya saja seragam gratis pastinya membantu, hanya saja siapa kira-kira yang paling diuntungkan dan merasa terbantu dari program itu.

Wali murid kah..? Penjahit atau UMKM kah… ?Kontraktor kah…? Makelar kah…? atau adakah yang sering bersembunyi dalam ruang gelap Pendopo…?

Pertanyaan selanjutnya sudah tepatkah timingnya? Lalu mungkinkah masih ada wali murid yang belum membeli seragam pada Desember 2022 ini? Ya biar wali murid dan UMKM saja yang berpikir, lalu memberi kesimpulan dalam hatinya masing-masing.

Baca Juga :  Giliran Relawan Jokowi Laporkan Tanah Uruk Haji Asis

3. Sang Kadis juga mengatakan bahwa seragam gratis yang diberikan kepada para siswa nantinya bukan merupakan produk pabrikan.

“Seragam gratis tersebut akan digarap oleh para penjahit lokal,” klaim sang Kadis.

Pernyataan di atas penting untuk kita kuliti. Sebab itu berkaitan dengan komitmen dan janji Bupati khususnya dalam peningkatan kesejahteraan dan daya saing UMKM.

Janji Seorang Pemimpin Tidak Seperti Meludah Di Aliran Sungai, Lalu Terhanyut dan Menghilang

Tidak juga seperti janji seorang ibu yang mau membelikan mainan anak-nya asal berhenti menangis. Kalau waktunya molor, tinggal bilang nunggu ayah belum punya uang atau jika belum ada uang bisa dijanjikan lagi minggu depan.

Janji dari pemimpin membangkitkan harapan. Dan harapan satu-satunya harta berharga yang dimiliki kaum pinggiran.

Saya masih punya sedikit stok keyakinan bahwa Bupati tidak akan ingkar. Bupati tak ingin mengecewakan UMKM. Bupati masih punya nurani dan niat baik. Akan tetapi niat baik saja tidak cukup, maka harus diimbangi dengan panglima-panglima bertangan besi di bawahnya.

Rakyat bisa melihat ke depan, sampai perhelatan akbar 2024. Apakah program-programnya mampu menjadi solusi, atau hanya lipstik dan aksesoris?

Janji yang sudah tercatat dalam prasasti digital adalah fakta sejarah. Ia akan menjadi alat konfrontasi etis yang takkan berkesudahan. Dari sejarah itu pula ada catatan dan akan dibaca oleh generasi berikutnya, bahwa pernah terjadi pertempuran dimana kejujuran memilih takluk dan kalah pada liarnya pengkhianatan.

Saya menyentil tangan-tangan Bupati agar sejalan tunaikan janji. Sebab kalau janji-janji itu tidak ditunaikan, maka pejabat itu tidak hanya cacat integritas. Lebih dari itu bisa dikatakan defisit moralitas.

Minggu lalu, saya menerima kiriman pesan suara dari seorang aktifis dan teman dekat. Pesan suara itu berasal dari salah seorang yang mengaku orangnya Bupati. Saya tidak punya pemahaman tentang status orang ini sebagai apa. Tenaga ahli bukan…. Asisten tenaga ahli bukan… Kontraktor juga bukan….!

Baca Juga :  Aneh Tapi Nyata, SOP Pembakaran Dapur di BRI

Teman : “Itu seperti Kadis segala urusan,” bisik teman saya disebelah.

Saya : “Tapi dia kan bukan ASN?” tanyaku.

Teman : “Ya lebih tepatnya Broker atau Makelar,” celotehnya sambil cengar-cengir.

Dalam pesan suara itu, dia membawa-bawa nama Bupati, dia sedang mengklarifikasi soal pemberitaan tentang seragam gratis.

Begini isi pesannya : “Semua punya kepentingan, Bupati punya kepentingan baik. Kenapa waktu itu Bupati menyampaikan ini adalah upaya pemberdayaan “betul”, namun itu tidak ada di dalam aturan, di dalam kontrak itu tidak disebutkan bahwa itu adalah pemberdayaan. Yang ada di dalam kontrak pekerjaan itu adalah dua minggu dan data dapodik muncul jauh setelah pendaftaran siswa baru”

Begitulah seolah rencana kerja dan misi baik Bupati dikacaukan oleh orang-orang yang terindikasi makelar dibawahnya, tangan besi seolah menjadi tangan palsu yang tak berdaya. Dia tidak paham bahwa dibalik setiap janji yang terucap, konsekuensi dimasa depan juga tertancap.

Kemudian orang ring satu Bupati ini melanjutkan pesannya, “Kita yang berada di ring satu Bupati merasa tidak nyaman. Kenapa saya minta untuk duduk bersama, bukan karena kita takut tapi kalau kebablasan, sama kita juga bisa berbuat,” ungkapnya dengan nada kesal.

Sepertinya kehidupan Insan Pers Sumenep ke depan yang kritis menyorot kebijakan kekuasaan, harus memilih wartawan super bersih, bahkan zero dosa.

Sebab ring satu Bupati ini mulai gusar. Ia tidak paham bahwa berita yang ditulis itu menyangkut kepentingan publik. Sementara dosa wartawan sebagai manusia itu urusan private. Dia mencoba menghalang-halangi pers.

Akal sehat yang peka terhadap keadilan sosial, sebuah generasi yang harusnya diterima tanpa curiga, begitulah catatan sejarah bergerak.