OKEDAILY.COM – Tak kenal maka tak sayang, begitulah pepatah menyebut. Siapa yang tidak kenal Kabupaten Sumenep, Madura, dengan kebijakan-kebijakan yang kontroversial. Tentu bukan Kota Sakti, apabila tertib administrasi.
Kesakitannya tidak perlu diragukan lagi, hal itu dibuktikan dengan diundangkan Peraturan Bupati Sumenep Nomor 81 Tahun 2021 tentang Pakaian Dinas Aparatur Sipil Negara, yang mendapatkan perhatian spesial di kalangan aktivis Kota Keris.
Peraturan Bupati Sumenep itu mulai berlaku pada saat diundangkan yakni sejak ditetapkan di Sumenep, pada 12 November 2021, tertanda tangani oleh Bupati Sumenep Achmad Fauzi, S.H., M.H.
Semenjak diundangkan, Peraturan Bupati Sumenep tersebut sudah menuai kritik dan saran. Tetapi entah siapa pembisik istana? sehingga masih mempertahankan kebijakan yang sedari awal dinilai akan merugikan berbagai pihak, dan hanya menguntungkan kelompok tertentu.
Monopoli PDH Khas Daerah
Polemik program batik ASN yang masih hangat dibenak publik itu merupakan ide Pemerintah Sumenep, jadi Bupati jangan berdiam diri seolah-olah sebagai korban.
Bupati Sumenep sudah sepatutnya untuk bersuara, menyikapi polemik terkait batik ASN tersebut agar tidak menimbulkan kesalahpahaman di kalangan pembatik lokal.
“Kebijakan ASN memakai seragam batik produk lokal sebagai wujud perhatian Pemerintah Daerah, memulihkan perekonomian pengrajin batik yang lumpuh akibat wabah Covid-19,” kata Bupati Sumenep Achmad Fauzi di sela-sela kunjungannya, pada Selasa (05/07/2022, di Kerajinan dan Batik Tulis Pakandangan, Desa Pakandangan Barat, Kecamatan Bluto, dikutip dari website resmi Pemkab Sumenep.
Namun sayangnya, program sebagus itu terkesan sekedar pemanis buatan yang diucapkan seorang politisi saja, tatkala mulai tercium aroma monopoli melalui lisensi kekuasaan. (Paragraf keempat PDH khas daerah, pasal 7).
Jadi tidak usah heran ketika publik berpandangan demikian. Menurut hemat saya, alangkah baiknya Pemkab Sumenep sebelum menyelipkan motif Tera’ Bulan ke dalam Peraturan Bupati Sumenep diadakan sayembara terlebih dahulu. Contoh seperti design logo hari jadi Sumenep, misalnya.
Mungkin itulah yang disebut kompensasi politik, menang (tender) tanpa kompetisi (lelang) karena motif Tera’ Bulan merupakan design atau karya (Hak Cipta) dari salah satu pengusaha batik ternama di bumi peradaban, Sumenep.
Terlepas, apakah Pemkab Sumenep telah membeli design tersebut sehingga setiap pembatik lokal bebas produksi? Atau kah mungkin pelaku UMKM dapat dengan bebas menjual-nya? Sekalipun boleh, iya kalau mereka punya akses ke OPD di lingkungan Pemda Sumenep, mengingat koperasi tunggal.
Batik ASN Bodong
Siapa yang tidak geli melihat kebijakan ugal-ugalan?. Bupati Sumenep bersuara-lah, karena membisu bukan cara yang bijak bagi seorang pemimpin.
Sejujurnya, saya juga tidak yakin bahwa pengadaan Pakaian Dinas Harian (PDH) Batik Khas Sumenep motif Bheddei itu adalah gagasan orang nomor satu di bumi kaya migas, Bupati Sumenep.
Seragam batik ASN tersebut bisa dikatakan bodong, jika tidak jelas aturan mainnya. Saya analogikan dengan kendaraan motor tanpa surat-surat resmi (BPKB dan STNK), yang lazim dikenal kendaraan bodong.
Kenapa saya sebut bodong? Karena hingga saat ini, seragam itu belum memiliki cantolan regulasi yang resmi dan mengikat. Hal ini berdasarkan hasil penelusuran, baik di Peraturan Bupati Sumenep tersebut maupun pada Surat Edaran-nya.
Pada paragraf kelima yang mengatur terkait PDH Batik, saya tidak menemukan satu klausul pun yang menyebutkan secara spesifik keberadaan batik motif Bheddei, seperti halnya motif Tera’ Bulan.
“untuk Pakaian Dinas Batik menggunakan motif batik Sumenep dan/atau motif Nusantara” bunyi huruf c, ayat (1) pasal 8 Perbup Sumenep 81/2021.
Lagi-lagi, siapa pencetusnya? PDH Batik (Bheddei) dominan warna merah tersebut yang biasa digunakan oleh para ASN di lingkungan Pemda Sumenep, pada setiap hari Jum’at.
Tidak cukup puas disitu, akhirnya saya pun mencari tahu aturan main dari kebijakan tersebut melalui Surat Edaran Nomor : 065/3127/435.032.2/2021 tentang Implementasi Peraturan Bupati Sumenep Nomor 81 Tahun 2021 tentang Pakaian Dinas Aparatur Sipil Negara.
Eh… Ternyata motif tersebut memang tidak diatur, “PDH Batik, dalam hal ini Pakaian Batik Nasional yang dipakai pada setiap hari Jum’at untuk perangkat daerah/unit organisasi perangkat daerah yang melaksanakan 5 (lima) hari kerja” bunyi potongan huruf d, poin 4 Surat Edaran tersebut.
Maka dari itulah kita menduga, bahwa dasar pemakaian batik ASN warna merah ini bukan lagi regulasi sebagai cantolan legal formalnya, melainkan hanya berdasar pertimbangan politis.
Karena sangat jelas, dalam Peraturan Bupati Sumenep itu hanya mengatur terkait pakaian batik motif Tera’ Bulan, sebagaimana termaktub pada huruf (a, b, dan c) angka (1) ayat (2) pasal 7. Sedangkan batik warna merah (Bheddei) itu bukan motif yang dimaksud.
Kebijakan Bupati Sumenep Berpotensi Digugat
Melihat dari uraian di atas, keberadaan batik motif Bheddei layak dipersoalkan secara hukum, apabila tetap dipaksakan menjadi PDH. Sebab apa? selain tidak adanya dasar regulasi, batik warna merah itu sudah kental dengan nuansa politisasi birokrasi lewat seragam ASN.
Seyogyanya, gerakan semacam itu sudah pasti dilarang keras karena Bupati Sumenep, akan dianggap telah berusaha menyeret birokrasi ke wilayah tidak netral, melalui simbol-simbol partisan.
Catatan, “Bupati adalah Ketua DPC Partai Politik di Sumenep yang identik dengan warna merah”. Kendati demikian, Bupati Sumenep berpotensi digugat secara hukum, baik Tata Usaha Negara maupun Pidana :
Secara TUN : Jika terbukti ditemukan Surat Edaran/Surat Keputusan Bupati Sumenep yang mewajibkan pemakaian batik yang dimaksud (motif Bheddei).
Secara Pidana : Jika terbukti ditemukan adanya unsur pemaksaan kepada ASN di lingkungan Pemda Sumenep agar membeli kain batik (motif Bheddei) tersebut, dimana peruntukannya untuk seragam kedinasan.
Selain itu, Bupati Sumenep juga dapat dilaporkan ke Kemendagri atas dugaan penyalahgunaan wewenang junto dugaan telah menyeret aparatur pemerintah ke wilayah politik partisan (tidak netral) lewat seragamisasi ASN se-Kabupaten Sumenep.
Penulis : Mashudi
Sumenep, 3 Februari 2023