Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 325x300
Kopini

Suara Lain dan Literasi Politik Lekra

Avatar of Okedaily
×

Suara Lain dan Literasi Politik Lekra

Sebarkan artikel ini
Suara Lain dan Literasi Politik Lekra
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Malang, Akhmad Mustaqim. ©Okedaily.com

OKEDAILY.COM Jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya. Jika politik bengkok, sastra akan meluruskannya. Jonh F. Kennedy dalam pengantar novel Multatuli Max Havelaar.

Ada pemandangan kurang menarik. Dilihat atau sekadar mendengar mengenai tragedi penyetopan calon kepala desa oleh orang tak dikenal, di salah satu desa di Kabupaten Bangkalan-Madura hari itu. Mereka dapat kawalan polisi dengan baik, ternyata tidak bisa menjamin nyawa serta luka-luka jiwa mereka terus menganga hingga kini. Bahkan seperti luka kala disiram cukka.

Pasang Iklan Anda Disini
Example 325x300

Di antara mereka yang menjadi saksi atau yang menjadi saudara-saudara korban dan tersangka yang penuh menahan kepedihan jiwa dan hati yang pengap, serta kerapuhan duka di jiwanya. Tak membayangkan seorang manusia seperti ditebas bak pohon pisang di hadapan banyak orang. Kabar ini tidak mengelokkan, menjadi cambuk derita kita bersama bahwa politik desa kadang harus meregang nyawa.

Baca Juga :  Menag Yaqut Jadi Amirul Hajj Indonesia 2022, Ikut Lebaran 9 Juli Gak Ya?

Sebuah kontestasi politik dari beberapa wilayah Kabupaten Bangkalan serentak segera dilaksanakan. Kalau tidak salah, tepat tanggal 10 Mei 2023 esok. Seorang calon tentu sudah menyiapkan sebuah misi dan visi besar ataupun kecil untuk desanya, tentu selalu ada narasi untuk sebuah wilayah agar lebih baik.

Hal ini tidak ada sedikitpun dari mereka yang mencalonkan diri tapi tidak punya niat baik, pasti sekelumit punya niat baik. Sebab mereka manusia yang memiliki hati nurani, sekelumit pasti ada niat baik untuk berperan berkontribusi penuh. Walaupun kesadaran masyarakat akan politik masih memiriskan.

Kejadian di wilayah kabupaten kecil itu, membawa duka lama. Selain penuh banyak drama nyata, di saat kontestasi politik di daerah itu penuh kegetiran tersendiri. Tengah kekhawatiran akan kejadian tidak diharapkan. Contohnya beberapa hari lalu terjadi di bulan ramadan suci itu, seolah-olah tidak jadi suci lagi, bagi sebagian mereka. Karena sebelum berbuka penuh luka-luka.

Baca Juga :  Partai Sekelas PKS Ikut Pilkades?

Adapun saban kali mendekat politik nasional atau regional. Masyarakat dengan penuh gegap-gempita menyambutnya sebagai pesta, dengan kata lain disebut sebagai “pesta rakyat.” Pesta yang kerap diasosiasikan sangat menyenangkan, kadang tidak demikian. Sehingga pesta hanya bisa dirayakan bukan dirasakan nyamannya pesta, melainkan lebih merasakan ketakutan akan terjadinya luka-luka.

Literasi Politik Lekra

Masyarakat tentu punya cara sendiri untuk mendukung atau memilih mana saja pasangan calon akan dijadikan (dipilih serta pantas). Dalam hal ini masyarakat tentu dimaknai sebagai orang pandai memahami atau bisa sadar, mana yang serius diperjuangkan dan yang pantas mendapat dukungan. Jika tidak punya dasar pengetahuan akan menjadi seorang pendukung yang brutal serta arogan. Sehingga ada hal yang perlu dibangun oleh masyarakat yaitu kesadaran yang penuh pengetahuan. Pada akhirnya bisa melahirkan sebuah kebijaksanaan.

Sosialisasi pemahaman terhadap politik di desa sangat perlu dilakukan oleh lintas sektor, tentu elemen yang memiliki pengaruh, yang bisa memberi dampak baik ataupun buruk di masyarakat mengenai politik (mengerti politik, bukan sekadar mencalonkan diri tak baiknya demi jabatan). Sekurang-kurangnya kesadaran yang perlu dimiliki adalah “bahwa politik jangan dipandang sebagai hitam dan putih saja, tapi sebuah hal yang beragam”. Sehingga pemahaman terhadap politik lebih bijaksana agar tetap bisa menjadi lebih baik arus pemilihan kepala desa atau politik di desa.

Baca Juga :  Akibat Cuaca Ekstrem, Plafon Ruang Perawatan RSUD Syamrabu Bangkalan Jebol

Gus Dur dalam adagiumnya “Tak ada jabatan di muka bumi ini dapat diperjuangkan mati-matian”. Artinya bahwa jangan sampai masyarakat jadi korban dari buruknya sistem. Tentu sebuah masalah besar dari dulu, yang belum teratasi yaitu sebuah literasi politik di desa. Bagaimana para pemangku di desa bisa mampu memberikan ruang edukasi, atau paling tidak ada tokoh model jadi dedikasi.

Kecakapan literasi politik di desa semestinya perlu dibangun secara kolektif oleh beberapa elemen di desa. Memasuki era sekarang begitu kompleks dengan akses internet dengan mudah. Tidak hanya membangun isu dari mulut ke mulut, tapi sudah bisa beralih demi memanfaatkan kemajuan terhadap keterbukaan terhadap informasi, pengetahuan, dan ekonomi dengan fasilitas media sosial dan teknologi. Sehingga masyarakat mawas diri terhadap sebuah politik dibangun oleh kubu A dan B yang membawa sebuah misi berbeda-beda. Dengan ini tentu membutuhkan alat yang memadai untuk mereka, alat yang bisa membawa masyarakat lebih cerdas terhadap apapun, kali ini khusus di bidang politik yang kerap menuai perpecahan.

Secara letak geografi, Kabupaten Bangkalan dan Madura yang panas kerap memengaruhi jiwa serta cara bersikap pada setiap individu. Sehingga hal-hal sepele menjadi besar karena tidak bisa diselesaikan dengan kepala dingin atau runding secara intelektual. Cara-cara tersebut seperti tidak berlaku untuk wilayah yang semestinya berkelompok solid. Butuh pendingin atas bersikap yaitu kecakapan literasi politik. Hal ini butuh sistem yang baik dan tokoh yang netral dalam bersikap, namun gagah serta gigih ketika ingin mengahadapi masyarakat agar melek literasi politik.

Baca Juga :  Reformasi ke-63 PMII, Pengusaha Muda Islam Indonesia?

Butuh Sistem Politik yang Baik

Sebuah sistem dibangun oleh pemangku kebijakan semestinya mampu menetralisir kejadian-kejadian tidak diharapkan. Kejadian buruk yang tidak dapat diselesaikan dengan mudah, sebab kesadaran masih terpacu dengan hal logika material. Bahwa politik pada dasarnya adalah dunia ide yang ideal yang perlu direduksi dengan hal-hal praktikal. Bukan dipandang secara material utuh, sebab kata “politik” secara harfiah menyerap dari Bahasa Belanda “politiek” yang artinya “sebuah proses pembentukan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.” Sehingga pola pandangan masyarakat seolah-olah kita berada di sebuah tempat nyaman tapi enggan ada perkembangan dari sebuah peradaban desa. Karena politik sebagai kata benda atau materil.

Padangan ini dapat diasosiasikan sebagai pandangan kurang baik bahkan buruk. Karena sebuah jabatan di dunia politik dijadikan sebagai ladang pencarian uang atau sebagai penyelesaian untuk rendah materi kita, dengan kata lain untuk memperkaya, bukan sebagai medan perjuangan untuk menyelesaikan masalah pelik sebuah wilayah: masalah ekonomi, pendidikan, pembangunan, dan kesadaran.

Setelah pemahaman itu dilakukan perlu adanya melek terhadap sistem yang dibangun untuk membuat kesadaran kepada masyarakat, bahwa setiap politik ini merupakan panglima pada sebuah perubahan. Jika memandang itu semua dengan kesadaran politik ini mengambil dari pemahaman sistim di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), dengan penerapan/implementasi yang dikenal turba (turun ke bawah), merupakan sebuah sistem diterapkan di dunia politik di desa sangat baik.

Baca Juga :  Dinkes Sumenep Apresiasi Capaian Vaksin Sapeken Menyongsong Pilkades

Untuk bisa menyelesaikan masalah tentu butuh merasakan kepedihan rakyat, merasakan apa yang dirasakan; keliling mendengar penderitaan rakyat. Hal ini dilakukan oleh para sastrawan Lekra dalam mencipta karya tidak hanya mengandalkan ide, imajinasi, dan rekaan, tapi juga bisa merasakan kepedihan rakyat. Inilah hemat penulis jadi salah satu cara rakyat memahami sebagai pemimpin terjun melalui dunia politik (sebagai panglima). Politik di desa lebih berfokus pada kepentingan yang membumi.

Kepentingan membumi ini sekurang-kurangnya dimaknai secara sederhana. Tolok ukur baiknya seorang pemimpin kalau memang dekat yaitu jalan, keamanan, dan melakukan pembangunan. Baik atau buruk itu semua masyarakat akan merasakan secara seksama. Bahwa hasil kerja pemimpin di desa dapat dilihat dari yang material.

Tidak dipungkiri, pandangan ini sangat umum dalam memberikan penilaian atas sesuatu hal dari yang tampak terdahulu. Narasi masyarakat selalu: “jika jalan bagus, aman, damai, dan bangunan jembatan banyak, berarti itu pemimpin bagus”. Pandangan ini tidak sepenuhnya salah dan tidak sepenuhnya benar, tapi memang tidak bisa mengukur pencapaian sebuah kerja pemimpin dari itu, tapi dari komitmen serta tujuan awal.

Baca Juga :  Menko PMK Gelar Roadshow Penurunan Stunting dan Kemiskinan Ekstrim, Ini Tanggapan Mohni

Jika ingin terpenuhi itu semua, maka bisa mencari tahu solusi dari sistem berlaku agar bisa memahami betul problem desa. Sehingga masyarakat dapat memahami dengan mudah serta literasi politik sangat diperlukan agar secara sektoral serta elemen masyarakat berperan aktif, agar efektif memahami arah tujuan politik secara baik. Dan pada akhirnya argumentasi dapat dipertanggung jawabkan setiap masyarakat yang paling perlu dicegah tidak ada pertumpahan darah. Menjalani politik cerdas.

Pepatah lama Madura menyebutkan; “Rampak Naong” artinya bercabang membuat tempat teduh sejuk nyaman. Sehingga tak ada sebuah pertikaian kelak terus-menerus terjadi, yang akan memakan korban. Seolah-olah politik seperti sebuah tukaran dengan nyawa memiriskan lagi, bukan pencalonan chaos, kadang masyarakat pendukung-pendukung penuh kengototan-lah membuat jarak tak sehat, dengan kata lain pemahaman primitif chaos tak berkesudahan.

Belajar Pada Film The Godfather

Perihal ini, penulis perlu melakukan pembacaan yang lebih banyak secara real. Tidak berargumentasi bukannya apatis, tapi lebih sadar diri bahwa segala kemungkinan dalam pikiran tak bisa diingkubatori. Sehingga kekhawatiran ada keterbatasan ide dengan menganalisis kejadian di Bangkalan hari itu membuat hati pribadi ini ada tangis tersesak, dan pikiran tak menemukan solusi.

Baca Juga :  Program 1 Juta Guru PPPK : Tak Butuh Sekedar Visi Pemerintah Pusat, Tapi Juga Reformasi Birokrasi di Tingkat Daerah

Bahkan hanya berkelut kelindan dengan hati. Penuh dengan irisan kesedihan sekaligus kekecewaan atas belum bisa diatasi masalah kriminalitas di khalayak ini. Jika memandang secara general perihal kejadian hari ini saya memandang bukan dari segi politik, tapi sebagai masyarakat kecil yang berupaya memahami lika liku politik. Akan tetapi akan tetap buntu.

Sebuah kejadian waktu itu merasa bukan perihal masalah politik kepala desa saja, coba kita baca kronologi yang berselebaran di sosial media diterima. Bahwa sikap ketidak tegasan dari oknum aparatur negara yang dirasa kurang tegas menyelesaikan masalah. Bagaimana sebuah pengawalan ketika distop oleh para polisi tidak bisa menghentikan pertikaian di jalan tersebut. Apa tugas baik mereka yang perlu dihargai kala ada sebuah pertikaian terjadi, tapi nyawa masih meregang.

Dalam memandang kejadian hari ini teringat dengan film The Godfather kurang lebih dalam kutipan dialognya; “bahwa politik dengan kekejaman akan kerap memakan korban.” Pandangan ini menjadi salah satu usaha seorang dalam mendidik untuk membuat pola pandang seorang lebih melek serta tidak sumbu pendek untuk memandang sebuah politik, apalagi politik di desa yang kompleks.

Baca Juga :  Kasus ACT 'Digarap' Densus 88, Bagaimana Umat Harus Bersikap?

Jika di pandangan dari psikoanalisis Freud, bawah masyarakat itu rasa-rasa mereka lebih mengutamakan id, belum sampai pada superego, bahwa untuk melakukan sebuah politik ada norma kemanusiaan, agama, dan sosial seumpamanya. Sehingga ego memilih dari kedua; id dan superego sebagai benteng kekuatan bersikap.

Dalam hal ini saya membuat sebuah pandangan agak sedikit melebar untuk masalah ini sebagai pijakan. Geneologi masayakat Madura cenderung lebih menyelesaikan masalah dengan cara sebagai berikut. Falsafah ini lahir dari kata “Madura” yang secara harfiah terdiri dari “ara” yang berarti tempat gersang (keras dan panas), dan kata “madu” yang memiliki khasiat baik untuk menjadi obat penyembuhan. Bahkan nabi Muhammad Saw jamunya madu. Lalu dalam politik ini, kita semestinya akan bersikap dan berpijak pada falsafah Madura yang mana: “madu atau ara?”. Memilih dengan cerdas sebagai intelektual organik.

Penulis : Akhmad Mustaqim
Mahasiswa Pascasarjana Unisma

Baca Juga :  Polda Sumut Kerahkan 1.129 personel BKO Pengamanan Pilkades

Tulisan opini ini sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulis, dan tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi media okedaily.com.

Kanal opini media okedaily.com terbuka untuk umum. Maksimal panjang naskah 4.000 karakter, atau sekitar 600 kata.

Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri anda dan nomor telepon yang bisa dihubungi. Kirim ke alamat e-mail: opini@okedaily.com.

Example 325x300
Example floating
Example 325x300
Reformasi ke-63 PMII, Pengusaha Muda Islam Indonesia?
Berita

OKEDAILY, MALANG RAYA – Momentum peringatan hari lahir Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang ke-63, ramai diperingati oleh seluruh kader PMII se-Nusantara. Tak ketinggalan Pengurus Koordinator Cabang (PKC) PMII Jawa…

Catatan Hainor Rahman : Cerdik Memimpin
Kopini

Resensi tulisan esai dengan judul “Pemimpin Harapan” oleh Erha Suud Abdullah dari buku “Memburu Keadilan” OKEDAILY.COM – Kita ketahui bersama, memimpin bukan sebuh pekerjaan yang mudah untuk dilakukan. Berbagai hal,…