DENPASAR, Okedaily.com — Direktur Lembaga Advokasi dan Bantuan Hukum Indonesia (LABHI) Bali, I Made Ariel Suardana, melontarkan kritik pedas terhadap kinerja Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Bali yang baru, Khatarina Muliana Girsang, dan pendahulunya, Ketut Sumedana. Keduanya sama-sama jebolan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), namun Ariel Suardana meragukan keberanian Kajati Baru bisa menuntaskan kasus-kasus besar di Pulau Dewata.
“Sudah mulai terbesit dalam pikiran saya, kehadiran Kajati baru ini justru saya ragukan keberaniannya. Meski jebolan KPK, tapi aktivitasnya saya dengar lebih banyak di bidang pencegahan, bukan penindakan,” ujar Ariel saat ditemui di Denpasar, Kamis (23/10/2025).
Menurut Ariel, hal serupa juga terjadi pada Ketut Sumedana yang lebih dulu menjabat Kajati Bali. “Ketut Sumedana juga jebolan KPK, tapi keok juga di Bali, gagal ungkap kasus-kasus besar yang selama ini dinanti masyarakat,” tegasnya.
Ia bahkan menduga, pergantian pucuk pimpinan Kejati Bali ini bukan murni karena penilaian kinerja, melainkan sarat kepentingan politik. “Semoga pergantian ini tidak by design. Bisa saja ada kekuatan politik yang ingin Kajati baru memiliki pola penanganan perkara yang sejalan dengan pendahulunya, agar kepentingannya tetap aman,” sindirnya.
Dua kasus yang tengah menjadi sorotan, kata Ariel, adalah dugaan korupsi penerbitan 106 Sertifikat Hak Milik (SHM) di kawasan Tahura Ngurah Rai, dan kasus mark up pembangunan Gedung Universitas Terbuka (UT) Denpasar dengan nilai kerugian negara ditaksir mencapai Rp3 miliar.
“Dua kasus ini saja sudah cukup bikin Kajati pusing. Bayangkan, 106 SHM dengan waktu penerbitan berbeda-beda. Itu pekerjaan berat dan perlu keberanian luar biasa,” ucapnya.
Ariel juga menilai, dari konstruksi hukumnya, pihak-pihak yang berpotensi menjadi tersangka sudah bisa ditebak.
“Dalam kasus Tahura, ada kemungkinan melibatkan pemohon SHM, pendana, perangkat desa, BPN, hingga pejabat Dinas Kehutanan. Sementara kasus UT Denpasar bisa menyeret kontraktor, kuasa pengguna anggaran dari unsur pemerintah, dan pihak yang menerima mark up,” paparnya.
Namun, Ariel pesimistis Kajati baru mampu menuntaskan kasus-kasus tersebut dalam waktu dekat. Ia menilai keterbatasan anggaran dan lemahnya sinergi internal menjadi penghambat utama.
“Kalau Pidsus-nya (penyidik) nggak mau gerak dan bagian Intel nggak kasih informasi, ya bagaimana bisa jalan? Galak saja nggak cukup. Kajati itu bukan kerja sendiri,” kritik Ariel tajam.
Ia menutup pernyataannya dengan nada skeptis terhadap kinerja Kejati Bali ke depan.
“Jadi, masyarakat sebaiknya tidak berharap terlalu banyak. Kalau cuma marah-marah tanpa dukungan tim, ya sama saja, nggak akan ada perubahan berarti,” pungkasnya.















