SURABAYA, OKEDAILY – Perayaan Hari Pers Nasional (HPN) 2025 kembali diwarnai perpecahan. Peringatan tahun ini, dua kota menjadi pusat perayaan, yaitu Banjarmasin, Kalimantan Selatan, dan Pekanbaru, Riau, dengan tema yang berbeda, pada Sabtu 9 Februari 2025.
Diketahui, HPN 2025 di Kota Banjarmasin dengan mengusung tema “Pers Mengawal Ketahanan Pangan untuk Kemandirian Bangsa”, sedangkan HPN 2025 di Pekanbaru mengusung tema “Pers Berintegritas Menuju Indonesia Emas”.
Amatlah disayangkan, fenomena ini tentunya semakin menguatkan perdebatan mengenai legitimasi HPN versi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang selama ini menjadi perayaan resmi.
Secara historis, HPN berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985 menetapkan 9 Februari, yang merupakan hari lahir PWI pada 1946. Tidak sedikit organisasi pers lainnya mempertanyakan dominasi PWI. Mereka menilai perayaan ini seharusnya lebih inklusif dan tidak dimonopoli oleh satu organisasi.
Hal tersebut memantik wartawan muda Kota Keris angkat bicara. Sekretaris DPC AWDI Kabupaten Sumenep, Mashudi, menilai dualisme HPN adalah bukti bahwa sudah saatnya perayaan ini direvisi agar lebih mencerminkan keberagaman organisasi pers di Indonesia.
“Dalam iklim demokrasi yang berkembang, kebebasan pers tidak bisa diseragamkan dalam satu wadah saja. Keppres ini dibuat di era Orde Baru, di mana kebebasan pers masih terbatas, kala itu. Maka, sudah selayaknya Presiden Prabowo Subianto mencabut atau merevisinya,” ujarnya.
Sebagai alternatif, ia pun mengusulkan 23 September, hari lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, sebagai pengganti HPN. Baginya, tanggal tersebut lebih merepresentasikan kebebasan pers, karena UU ini lahir di masa reformasi dan menjamin independensi pers.
“Pers nasional bisa bebas berkarya karena lahirnya undang-undang ini. Jadi, mengapa tidak menjadikannya sebagai HPN yang lebih inklusif dan bahkan dijadikan hari libur nasional apabila memungkinkan,” tegasnya.
Selain itu, ia juga menekankan perlunya dialog terbuka antara Dewan Pers dan organisasi pers lainnya untuk menemukan solusi yang lebih mewakili seluruh insan pers Indonesia.
“Jika tidak ada perubahan dan terus berlarut dibiarkan, bukan tidak mungkin ke depan akan muncul HPN versi lain yang lebih mencerminkan keberagaman dan kebebasan pers nasional,” pungkasnya.