Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Viral

Sebut Bupati Tong-Tong, Aksi Seniman Sumenep Jadi Kontroversi

Avatar of Okedaily
133
×

Sebut Bupati Tong-Tong, Aksi Seniman Sumenep Jadi Kontroversi

Sebarkan artikel ini
Sebut Bupati Tong-Tong, Aksi Seniman Sumenep Jadi Kontroversi
Penyair asal Sumenep Madura, Deni Puja Pranata. ©Okedaily.com/Ist

SUMENEP, OKEDAILY Seorang seniman di Kabupaten Sumenep, Deni Puja Pranata, dalam pekan terakhir ini menjadi buah bibir netizen lantaran menggunakan istilah “Bupati Tong-Tong” dalam sebuah aksi atau karya seninya. Hal tersebut menyebabkan kontroversi di masyarakat, karena dianggap tidak sopan atau menyindir pemerintah daerah, khususnya Bupati.

Aksi seniman tersebut dilakukan dalam bentuk visual yang beredar menggambarkan kritik terhadap kebijakan atau kondisi pemerintahan setempat. Kontroversi ini bisa jadi muncul karena masyarakat atau pihak pemerintah merasa istilah “Tong-Tong” bersifat merendahkan atau tidak pantas digunakan untuk merujuk pada seorang Bupati, yang merupakan pejabat publik.

Example 325x300

Biasanya dalam kasus semacam ini, terdapat perbedaan pandangan antara seniman yang merasa berhak menyuarakan kritik secara bebas, dan pihak yang merasa kritik tersebut telah melewati batas etika. Peristiwa ini juga menunjukkan bagaimana seni bisa menjadi alat komunikasi sosial yang kuat, tapi sekaligus rentan menimbulkan perdebatan, terutama bila menyangkut hal-hal yang sensitif seperti jabatan publik.

Baca Juga :  Kesaksian Keluarga Pasien Tentang RSUD Moh Anwar Sumenep

Olok-olok yang dilontarkan penyair Deni Puja Pranata terhadap Bupati Sumenep, Achmad Fauzi Wongsojudo, dengan sebutan itu telah mengundang beragam reaksi dari masyarakat. Aksi teatrikal ini menimbulkan perdebatan di kalangan netizen, di mana ada yang mendukungnya, dan ada pula yang tidak sepaham akan niat di balik kritik tersebut.

Deni, yang dikenal dengan karya-karyanya yang tajam, menyampaikan julukan itu sebagai bentuk kritik terhadap kinerja kepemimpinan Bupati Wongsojudo. “Saya ingin menggugah kesadaran publik. Kadang, humor bisa menjadi cara untuk menyampaikan pesan,” ungkap seorang netizen yang mengapresiasi tindakan Deni.

Namun, netizen lainnya berpendapat bahwa tindakan Deni berlebihan. “Menjadi bupati bukan hal yang mudah. Mengolok-olok hanya akan memperburuk suasana,” komentar salah satu netizen. Dia merasa bahwa kritik yang dilontarkan Deni seharusnya disampaikan dengan cara yang lebih konstruktif.

Baca Juga :  Regulasi Basi Bau Terasi

Di sisi lain, banyak pendukung Deni yang berargumen bahwa kritik tersebut penting untuk menyampaikan aspirasi masyarakat. “Kadang, kita perlu cara yang berbeda untuk menarik perhatian. Ini adalah bentuk ekspresi yang sah,” kata As’ad, seorang netizen asal Gapura, memberikan perspektif bahwa seni dan kritik bisa saling melengkapi dalam konteks sosial.

Dalam konteks kepemimpinan Bupati Wongsojudo, suara kritik dari masyarakat semakin nyaring. Beberapa pihak menilai bahwa kepemimpinannya kurang inovatif dan tidak mampu menghadirkan solusi nyata untuk masalah-masalah mendasar seperti kemiskinan, pengangguran, dan disparitas antara daratan dan kepulauan. Festival musik yang digelar dianggap sebagai hiburan tanpa makna, menciptakan kesan bahwa pemerintah lebih fokus pada acara daripada penyelesaian masalah.

Deni menggunakan julukan “Bupati Tong-Tong” untuk mencerminkan dan mewakili ketidakpuasan publik yang mendalam. Ini tidak hanya menggambarkan rasa frustrasi, tetapi juga harapan akan perubahan yang lebih baik. Masyarakat berharap pemimpin mereka bisa lebih peka terhadap isu-isu yang dihadapi.

Baca Juga :  DKPP Sumenep Boyong Tiga Penghargaan Pemprov Jatim, Berikut Kategorinya

Masalah di dunia Pendidikan Sumenep, misanya, dengan sejumlah kasus amoral yang mencoreng reputasi institusi, seperti perselingkuhan antar guru dan pelecehan seksual yang dilakukan seorang guru terhadap anak didiknya di SDN Kebon Agung, membuat kepercayaan masyarakat terhadap dinas terkait mulai goyah.

Kasus terbaru, di mana seorang tenaga pendidik menyerahkan anaknya yang berusia 15 tahun kepada kepala sekolah untuk ritual suci, menunjukkan lemahnya pengawasan di lingkungan sekolah. “Mana..mana..mana… Bupati Tong-Tong itu?!” teriak Deni seolah menggugah kepemimpinan Bupati Wongsojudo atas peristiwa tersebut.

Semua peristiwa ini semakin memperkuat pandangan bahwa kepemimpinan Bupati Wongsojudo hanyalah sekadar wajah kosong, tanpa visi dan misi yang jelas untuk memajukan daerah. Banyak yang beranggapan bahwa dia lebih tepat dijuluki pemimpin yang diatur di bawah ketiak sang paman, Said Abdullah, yang dianggap lebih berperan dalam membangun di Sumenep ketimbang membangun Sumenep.

Baca Juga :  Masyarakat Kepulauan Raas Datangkan BBM Ditangkap, Pemkab Sumenep Buta?

Olok-olok Deni bukan hanya sekadar lelucon, ia telah menjadi simbol dari keresahan masyarakat yang menantikan perubahan nyata dalam kepemimpinan. Dalam dinamika ini, suara kritis masyarakat sangat penting untuk mendorong adanya dialog yang konstruktif, bukan justru dipolitisasi untuk kepentingan popularitas karena maju sebagai calon Bupati Sumenep.

Ini adalah saat yang tepat bagi masyarakat untuk bersuara dan menuntut pemimpin yang mampu membawa perubahan Sumenep yang lebih bermanfaat bagi kebaikan, keadilan, dan kesejahteraaan. (*)

Tinggalkan Balasan

Example 325x300