SURABAYA, OKEDAILY – Konflik privatisasi wilayah pesisir di Dusun Tapakerbau Desa Gersik Putih, Kecamatan Gapura, Kabupaten Sumenep, Madura, hingga kini terus memanas mengikuti dinamika nasional terkait ditemukannya pagar bambu di perairan Tanggerang, beberapa pekan lalu.
Dengan konsisten, warga Dusun Tapakerbau menolak klaim kepemilikan atas lahan seluas 21 hektar yang disahkan melalui Sertifikat Hak Milik (SHM). Wilayah ini, yang menjadi sumber penghidupan masyarakat, terancam oleh rencana eksploitasi untuk tambak garam.
Sejak mencuat pada 2023, isu ini mendapat sorotan luas karena dinilai akan berpotensi mengancam ekosistem pesisir dan memperburuk kondisi sosial-ekonomi masyarakat.
Dalam pernyataan pers yang dirilis WALHI Jawa Timur dan GEMA AKSI Sumenep di Surabaya, Januari 2025, privatisasi ini dianggap mengancam keberlanjutan lingkungan dan kehidupan warga setempat.
Adapun dampak ekologis dan sosial menurutnya mangrove, yang menjadi pelindung alami dari abrasi dan perubahan iklim, berada dalam ancaman serius akibat rencana konversi lahan atau ruang laut menjadi tambak garam.
“Kehilangan mangrove berarti banjir rob akan semakin parah. Tidak hanya menghancurkan rumah warga, tetapi juga infrastruktur desa,” dikutip press rilis tersebut.
Dikalimatkan dalam rilis media tersebut, bahwa dampak sosial yang dihadapi warga juga sangat signifikan. Privatisasi pesisir membuat masyarakat kehilangan akses terhadap sumber penghidupan.
Selain itu juga disebutkan, nelayan tidak lagi leluasa melaut, dan banyak warga terpaksa menjadi buruh tambak garam musiman dengan penghasilan minim. Pilihan lain adalah meninggalkan kampung halaman untuk merantau.
“Privatisasi ini sama saja dengan perampasan ruang hidup masyarakat lokal,” tegasnya.
Berikut tuntutan WALHI Jawa Timur dan kelompok masyarakat Gersik Putih:
- Penolakan privatisasi wilayah pesisir di Desa Gersik Putih,
- Pencabutan SHM yang diterbitkan oleh ATR/BPN untuk kawasan tersebut,
- Penegakan PERDA No. 10 Tahun 2023 tentang RTRW yang menetapkan pesisir Sumenep sebagai zona lindung,
- Penghentian penerbitan izin usaha yang berpotensi merusak ekosistem pesisir,
- Pemberian perlindungan kepada masyarakat untuk mengelola pesisir secara berkelanjutan.
Konflik ini menjadi ujian bagi pemerintah untuk bertindak tegas dalam melindungi hak masyarakat pesisir sekaligus menjaga kelestarian lingkungan. Jika dibiarkan, kerusakan ekosistem dan pemiskinan masyarakat lokal akan menjadi warisan buruk bagi generasi mendatang.
“Mari bersatu menyuarakan hak masyarakat Gersik Putih! Lindungi lingkungan, cegah privatisasi, dan selamatkan kehidupan masyarakat pesisir di Gersik Putih,” tutup dalam seruan tersebut.
Tanggapan Aktivis Senior Kota Keris terhadap Polemik Privatisasi Pesisir Gersik Putih
Menanggapi konflik privatisasi wilayah pesisir Desa Gersik Putih, aktivis senior Kota Keris, Rausi Zamorano, turut memberikan pandangannya. Melalui percakapan WhatsApp pada Minggu (26/1), ia menegaskan bahwa sengketa lahan ini masih dapat diselesaikan melalui jalur hukum.
“Jika BPN tidak mau mencabut SHM, maka statusnya tetap sah. Namun, warga masih memiliki opsi untuk menggugat ke PTUN,” ujar Rausi, sapaan karibnya.
Rausi juga mempertanyakan kejelasan batas wilayah dalam konflik tersebut. “Siapa yang berwenang menentukan apakah wilayah ini adalah daratan yang tergenang air laut atau sebaliknya? Ini harus diperjelas agar tidak ada bias dalam pengambilan keputusan,” katanya.
Namun, jika jalur hukum tidak diambil dan mediasi tidak membuahkan hasil yang konkret, Rausi menyebut bahwa situasi tersebut bisa semakin memanas, dan hal-hal yang tidak diinginkan pun akan terjadi.
“Kalau tidak ada titik temu dan tidak mau menempuh jalur hukum, ya mungkin solusinya sama-sama mengerahkan massa. Berhadap-hadapan macam perang badar. Siapa yang menang, dia yang berhak atas lahan itu,” pungkasnya dengan nada satir.
Pernyataan tersebut menyoroti pentingnya penyelesaian konflik melalui mekanisme hukum dan mediasi, sekaligus menjadi pengingat bahwa konflik yang dibiarkan berlarut-larut bisa berujung pada ketegangan yang lebih besar.