OKEDAILY, BALI – Religion Twenty menjadi ajang sharing pengalaman setiap bangsa dalam menghadapi tantangan global dan pandemi. Di hadapan tokoh agama dari berbagai negara, Menag Yaqut Cholil Qoumas juga berbagi tentang Pancasila dan keberhasilan Indonesia menghadapi pandemi.
Menag Yaqut mengawali sambutannya dengan memaparkan paradoks globalisasi. Menurutnya, globalisasi telah mengintegrasikan manusia dalam kultur global tapi sekaligus membelah dan membangun stratifikasi baru yang mengakibatkan banyak kaum miskin di berbagai negara yang ekonominya lemah dan makin menderita.
Paradoks lainnya, bencana pandemi yang meng-global, juga menghadirkan solidaritas. Di dalam pandemi, semua orang sama-sama menghadapi risiko dihadapan keganasan virus yang mematikan. Pandemi telah membangkitkan militansi akal budi.
Baca Juga : Rais Aam PBNU : R20 Ajak Para Pemimpin Agama Bangun Peradaban Baru Berdasar Persamaan Hak
Indonesia jelas bukanlah bangsa yang memiliki kekuatan hebat untuk berpacu dalam kompetisi teknologi dan sains. Secara ekonomi, sambungnya, Indonesia juga tidak memiliki kemakmuran materiil sebagaimana sebagian besar negara-negara sahabat anggota G20 lainnya.
“Namun demikian, dalam menghadapi bahaya dan masalah, Indonesia terbukti sama tangguhnya dengan bangsa-bangsa maju lainnya,” jelas Menag Yaqut dalam Forum R20 di Hotel Grand Hyatt, Nusa Dua, Badung, Rabu (2/11).
Indonesia, kata Menag Yaqut, adalah bangsa yang tumbuh oleh tempaan sejarah, melintasi prahara demi prahara. Mulai dari sejarah kolonialisme, pergolakan politik, otoritarianisme Orde Baru dan kini demokrasi.
Baca Juga : Holland Taylor Jelaskan Peran NU Ciptakan Integrasi Sosial
Lebih lanjut Menag Yaqut berkata, demokrasi telah memberikan Indonesia jalan terbaik bagi rakyat berpartisipasi untuk mempertahankan hak-hak dan kewajiban konstitusionalnya.
“Lebih dari itu, Indonesia juga adalah negara Pancasila, Sejarah Pancasila adalah sejarah nilai-nilai dan prinsip keutamaan,” tegas Menag Yaqut.
Menurut Menag Yaqut, Pancasila ditetapkan paling tidak untuk memenuhi dua fungsi. Pertama, sebagai simbol mengukuhkan pendirian Negara Republik yang merdeka. Disini Pancasila berfungsi praktis, dalam arti ia sengaja dipilih untuk menjamin suatu kesatuan dan integrasi politik yang bernama Republik Indonesia.
Baca Juga : Ketua Umum PBNU Tegaskan R20 Bukan Sekadar Agenda, melainkan Gerakan Global
“Dengan itu, Pancasila diposisikan sebagai visi bersama bagi pencapaian tujuan-tujuan Negara Bangsa yang diperjuangkan. Pancasila adalah sign of unity,” paparnya.
Kedua, Pancasila juga dikukuhkan sebagai wawasan politik atau dasar negara. Ini nampak dari konstruksi Soekarno yang secara eksplisit mengkomparasikan Pancasila secara setara dengan filsafat dan ideologi-ideologi lain seperti Marxisme, Liberalisme, dan San Min Chu’i.
Namun demikian, jelas Menag Yaqut, Pancasila bukanlah suatu ideologi politik partikular yang tertutup dan sistematis-total sebagaimana Marxisme maupun Liberalisme. Presiden Soekarno sendiri lebih menekankan ‘fungsi implisit’ Pancasila sebagai sign of unity untuk republik yang merdeka.
Baca Juga : Buka Forum R20, Jokowi : Tokoh Agama yang Berbeda Jadi Bagian Penting Persatuan Indonesia
Dalam rumusan lain, Prof. Mohamad Hatta, mengatakan bahwa Pancasila mengandung dua fundamen yakni fundamen moral (Sila Pertama dan Kedua) dan fundamen politik (Sila Ketiga, Keempat dan Kelima).
Dengan itu, apabila ditafsirkan dalam kerangka politik kewargaan, Negara Pancasila dapat dipahami sebagai negara yang mendorong rakyatnya hidup berdasarkan prinsip-prinsip moral (Berketuhanan dan Berkemanusiaan) dan prinsip-prinsip politik (menjaga persatuan, berdemokrasi dan menjunjung keadilan sosial).
“Saya berkeyakinan bahwa prinsip-prinsip Pancasila bersifat by default dalam alam pikiran dan prilaku orang Indonesia. Ia menyediakan sarana restrospektif, yang dibutuhkan terutama di saat-saat orang Indonesia secara kolektif menghadapi persoalan-persoalan besar yang dihadirkan oleh sejarah dan zamannya,” ujar Menag Yaqut.
Baca Juga : Sekjen Liga Muslim Dunia Apresiasi NU dalam Penyelenggaraan Forum R20, Berharap Ada Kerja Sama Permanen
“Sejauh ia hidup dalam perilaku kewargaan, maka Pancasila akan lebih tumbuh justru melalui mekanisme laku, bukan melalui mekanisme eksplisitasi yang serba verbal,” sambungnya.
Pengalaman Indonesia di bawah Orde Baru, kata Menag Yaqut, menunjukkan bahwa eksploisitasi Pancasila yang berlebih-lebihan hanya membuat ia jauh dari hati sanubari rakyat. Sebaliknya, dorongan yang lebih nyata kepada solidaritas, kemanusiaan, rasa persatuan justru mendorong Pancasila merekah dalam tindakan.
“Pengalaman pandemi di Indonesia membuktikan ini secara gamblang tanpa partisipasi sukarela rakyat, tanpa solidaritas dan rasa persatuan, tanpa kemanusiaan dan kehendak untuk adil, rasanya sulit Indonesia bisa mengatasi krisis demi krisis serta globalisasi pandemi dengan baik,” tandasnya.
Baca Juga : Sambut Peserta R20, Ketua Umum PBNU : Selamat Datang di Tanah Hindu, di Negeri Mayoritas Muslim
Menutup presentasinya, Menag Yaqut menekankan bahwa hal-hal material memang bisa menopang kemajuan, namun harapan-harapan terbaik umat manusia pada akhirnya hanya bisa dijamin di dalam prinsip-prinsip bersama yang kokoh serta universal. ***