SUMENEP, OKEDAILY – Polemik terkait privatisasi pesisir di Dusun Tapakerbau, Desa Gersik Putih, Kabupaten Sumenep, Madura, semakin memanas. Lahan yang kini tengah menjadi perdebatan hukum dan sosial tersebut dulunya adalah daratan yang tergenang akibat abrasi dan perubahan iklim.
Polemik ini mencuat ke publik pada pertengahan 2023, dan terbit legalitas sertifikat hak milik (SHM) sejak tahun 2009 silam. Kini, lahan tersebut direncanakan untuk dijadikan tambak garam guna mendukung kebutuhan garam nasional.
Namun, legalitas SHM yang diterbitkan atas lahan tersebut dipertanyakan oleh warga setempat. Mereka mendesak pemerintah, melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), untuk mencabut sertifikat tersebut.
Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), serta Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, penerbitan SHM harus memenuhi syarat berlaku.
Salah satu dari syarat itu yakni tidak bertentangan dengan peruntukannya, artinya tata ruang lahan harus sesuai dengan peruntukan yang ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) di daerah setempat.
Sebelumnya, aktivis senior Kota Keris sekaligus praktisi hukum, Rausi Zamorano, saat dihubungi media ini via percakapan whatsapp pribadinya, pada Sabtu (26/1), mengingatkan pentingnya kejelasan batas wilayah dalam sengketa ini.
“Perlu ada verifikasi apakah wilayah ini dulunya adalah daratan yang tergenang atau merupakan bagian dari kawasan pesisir yang masuk dalam wilayah konservasi atau zona larangan,” jelas Rausi.
Berdasarkan ketentuan hukum, pencabutan SHM bukan perkara sederhana. Prosesnya dapat dilakukan jika terdapat bukti bahwa penerbitan sertifikat melanggar prosedur atau hukum yang berlaku.
Adapun mekanisme yang tersedia sesuai aturan yaitu melalui putusan pengadilan. Jika ada indikasi pelanggaran hukum, maka pencabutan SHM harus melalui putusan pengadilan, termasuk Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Jika BPN tidak mencabut SHM, warga masih bisa menggugat ke PTUN. Ini adalah jalur hukum yang harus ditempuh untuk memastikan legalitas,” ujar Rausi.
Rencana privatisasi ini menuai respons beragam. Di satu sisi, pemanfaatan lahan untuk tambak garam dapat mendukung kebutuhan garam nasional, mengurangi ketergantungan impor, serta memberikan dampak ekonomi positif bagi daerah.
Namun pada sisi lainnya, masyarakat setempat justru merasa keberadaan mereka diabaikan, terutama apabila lahan tersebut memiliki nilai ekologis atau sosial yang tinggi.
“Lahan ini berbatasan dengan milik PT Garam, sehingga jika digunakan untuk tambak itu sesuai peruntukannya. Tapi, konflik ini tetap harus diselesaikan dengan kepala dingin,” tambah Rausi.
Kasus ini menjadi cerminan konflik agraria yang sering terjadi, terutama di wilayah pesisir. Penyelesaian tersebut memerlukan sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan pemegang sertifikat, dengan mengedepankan prinsip keadilan dan keberlanjutan.
Jika tidak segera dituntaskan, potensi konflik horizontal yang lebih besar sangat mungkin terjadi. Langkah mediasi, kajian ulang legalitas, dan penyelesaian hukum menjadi solusi yang harus diprioritaskan.