SUMENEP, OKEDAILY – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sumenep, Madura, sebelumnya telah mengonfirmasi bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2025 mengalami defisit sebesar Rp245 miliar.
Hal ini dikalimatkan Kepala Bidang Anggaran Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Pemkab Sumenep, Fardiansyah, S.Kom, M.Si, bahwa defisit tersebut akan ditutupi menggunakan sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA) dari Tahun Anggaran 2024.
“Kita ambilkan dari SiLPA tahun 2024, yang kita estimasi pada angka terendah. Intinya, APBD Kabupaten Sumenep tahun anggaran 2025 aman,” ungkap Dian, Jumat (3/1/2025).
Namun, dari perspektif hukum, defisit APBD ini menimbulkan pertanyaan besar terkait pengelolaan keuangan daerah. Bambang Suyitno, SH., seorang pemerhati hukum keuangan daerah, menyoroti hal ini sebagai indikasi adanya persoalan mendasar dalam tata kelola keuangan Pemkab Sumenep.
Bambang menjelaskan bahwa pengelolaan APBD harus berpedoman pada perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yakni:
- UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
- UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
- UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
- PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
- Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah
“Prinsip pengelolaan keuangan daerah adalah harus efektif, efisien, transparan, akuntabel, dan berkeadilan. Jika defisit harus ditutupi oleh SiLPA, artinya ada program tahun sebelumnya yang tidak dilaksanakan dengan baik,” jelasnya, Rabu (8/1/2025).
Menurut Bambang, APBD adalah instrumen utama kesejahteraan rakyat. Jika defisit terjadi, berarti ada potensi ketidaksesuaian antara rencana dan realisasi anggaran.
Bambang menegaskan pentingnya penerapan prinsip Good Financial Governance (GFG), yang terdiri dari empat aspek utama diantaranya ialah partisipatoris budgeting, transparansi budgeting, dan akuntabilitas budgeting, serta fairness budgeting.
“Ada 4 aspek yang harus dikedepankan dalam pengelolaan APBD, Yakni, Partisipatoris budgeting, yang menekankan pada partisipasi publik, Transparansi budgeting yang menekankan pada keterbukaan, Akuntabilitas budgeting yang menekankan pada pertanggungjawaban dan Fairness budgeting yang menekankan pada aspek kesetaraan dan keadilan,” terangnya.
Namun, dalam pengelolaan APBD di Sumenep, Bambang melihat ada potensi penyimpangan dari prinsip-prinsip tersebut. “Saya tidak menuduh, tapi faktanya banyak program dalam batang tubuh APBD tidak dilaksanakan, sehingga terjadi akumulasi SiLPA yang digunakan untuk menutupi defisit,” tegasnya.
Ia juga menyebut, defisit APBD Sumenep 2025 sebesar Rp245 miliar ini sebagai cerminan kurang optimalnya pengelolaan keuangan oleh organisasi perangkat daerah (OPD) di lingkungan Pemkab Sumenep.
“Jika ada SiLPA sebesar itu, berarti ada program sebesar Rp245 miliar yang tidak dijalankan, sehingga kebutuhan rakyat tidak sepenuhnya terpenuhi,” sesal Bambang.
Lebih lanjut Bambang, menegaskan bahwa kondisi ini dapat merusak tujuan utama APBD sebagai jantung pemerintahan daerah. “APBD yang sakit akan menghambat aktivitas pemerintahan dan kesejahteraan sosial masyarakat,” ungkapnya.
Defisit APBD Sumenep 2025 menjadi sorotan utama karena menunjukkan potensi lemahnya tata kelola keuangan daerah. Bambang menyarankan agar Pemkab Sumenep lebih transparan dalam pengelolaan anggaran dan melibatkan publik untuk mencegah penyimpangan.
“Kesejahteraan rakyat harus menjadi prioritas utama. Jangan sampai kepentingan politik kepala daerah (Bupati Wongsojudo) mengorbankan hak rakyat,” pungkasnya.
Hingga berita ini diterbitkan, Pemkab Sumenep masih enggan menyampaikan secara resmi terkait penyebab defisit tersebut.